Semua malaikat Allah harus menyembah Dia. —Ibrani 1:6
Suatu malam, saya sedang berada di London untuk menghadiri sebuah pertemuan. Hujan turun deras dan saya sudah terlambat. Saya berjalan tergesa-gesa, berbelok di tikungan jalan, tetapi mendadak langkah saya terhenti. Tampak lusinan malaikat melayang di atas jalan dengan sayap-sayap lebar berkilauan terbentang di tengah kepadatan lalu lintas. Figur malaikat-malaikat yang terbuat dari ribuan lampu kelap-kelip itu rasanya dekorasi Natal terindah yang pernah saya lihat. Ternyata bukan saya saja yang terkagum-kagum. Ratusan orang berdiri di pinggir jalan juga mendongak dan menatap dengan takjub.
Rasa takjub merupakan tema sentral dalam kisah Natal. Ketika malaikat mendatangi Maria untuk mengabarkan bahwa ia akan mengandung secara ajaib (Luk. 1:26-38), dan menampakkan diri kepada para gembala di padang untuk memberitakan kelahiran Yesus (2:8-20), setiap dari mereka merespons dengan perasaan takut, heran, dan takjub. Ketika melihat keramaian di sekitar saya, saya pun membayangkan seperti apa rasa takjub yang dialami oleh mereka yang dikunjungi pertama kalinya oleh para malaikat saat itu.
Sesaat kemudian, saya menyadari hal lain. Beberapa figur malaikat pada dekorasi itu mengangkat kedua tangan mereka, seperti sedang mendongak untuk melihat sesuatu juga. Seperti bala tentara surga yang memuji Allah karena kelahiran Yesus (ay.13-14), para malaikat juga bisa merasa takjub—sambil menatap-Nya dengan penuh kekaguman.
“[Sang Anak] adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr. 1:3). Yesus yang cemerlang menjadi pusat penyembahan setiap malaikat (ay.6). Apabila sebuah dekorasi Natal bertema malaikat saja dapat membuat para warga kota London yang sibuk itu berhenti sejenak dengan takjub, bayangkan seperti apa kelak ketika kita berhadapan muka dengan Dia! —SHERIDAN VOYSEY
WAWASAN
Di hadapan perlawanan dan godaan untuk kembali ke ajaran Yudaisme,
penulis kitab Ibrani menuliskan pesan kepada saudara-saudari sebangsanya
yang menderita karena kepercayaan mereka kepada Yesus (10:32-39).
Beberapa dari mereka tergoda untuk kembali ke gaya hidup yang berpusat
pada ibadat Bait Allah. Penulis tanpa nama itu, yang agaknya dikenal
oleh para pembaca suratnya (13:18-25), memperingatkan mereka agar tidak
mengikuti kecenderungan diri yang ingin kembali kepada cara lama dengan
lebih menaati berbagai ketentuan dan peraturan daripada hidup dalam Roh
dan kasih karunia Kristus (2:9; 4:14-16). Penulis kitab yang sangat
mengenal Yesus dan peribadahan Yahudi itu berargumen bahwa seluruh
bentuk ritus dan pewahyuan yang lebih rendah tingkatannya itu
sesungguhnya merujuk kepada sesuatu yang lebih tinggi, yaitu keagungan
Sang Anak—dan Firman Allah yang utama (1:1-3)—yang telah mengalami maut
bagi semua manusia (2:9,15). —Mart DeHaan
Kapan terakhir kali kamu merasa takjub? Bagaimana kamu dapat merasakan kembali ketakjuban akan Yesus pada Natal kali ini?
Ya Bapa, kami menyembah-Mu. Terima kasih atas pemberian-Mu yang menakjubkan bagi kami, yaitu Anak-Mu sendiri.
No comments:
Post a Comment