“Janganlah panggil saya Naomi,” kata Naomi, “panggillah saja Mara, sebab Allah Yang Mahakuasa telah membiarkan saya hidup penuh dengan kepahitan. —Rut 1:20 BIS
Berangasan. Kalong. Tukang balap. Itulah sejumlah julukan yang diberikan kepada para konselor di kamp musim panas yang dihadiri keluarga kami setiap tahun. Nama-nama itu diciptakan oleh rekan-rekan mereka sendiri, dan biasanya diilhami dari suatu insiden yang memalukan, kebiasaan lucu, atau hobi favorit.
Nama julukan bahkan kita temukan dalam Alkitab. Misalnya, Yesus menjuluki murid-murid-Nya, Yakobus dan Yohanes, sebagai “anak-anak guruh” (Mrk. 3:17). Dalam Alkitab, jarang seseorang menjuluki dirinya sendiri, tetapi itu terjadi pada seorang wanita bernama Naomi yang meminta agar ia dipanggil “Mara,” yang berarti “kepahitan” (Rut. 1:20), karena suami dan kedua anak lelakinya telah meninggal. Ia merasa Allah telah membuat hidupnya pahit (ay.21).
Akan tetapi, nama baru yang diberikan Naomi pada dirinya sendiri itu tidak melekat, karena berbagai peristiwa kehilangan yang tragis itu bukanlah akhir kisah hidupnya. Di tengah kesedihannya, Allah memberkatinya dengan menantu perempuan yang penuh kasih, Rut, yang akhirnya menikah lagi dan memiliki seorang putra, sehingga akhirnya Naomi mendapatkan keturunan.
Meskipun terkadang kita terpikir untuk melabeli diri kita sendiri dengan kata-kata yang pahit, seperti “pecundang” atau “tidak dicintai,” karena kesulitan yang pernah kita alami atau kesalahan yang pernah kita perbuat, nama-nama itu tidak harus menjadi akhir kisah kita. Kita dapat mengganti julukan-julukan itu dengan nama panggilan yang telah Allah berikan kepada kita masing-masing, yaitu “kekasih” (Rm. 9:25) dan perhatikanlah bagaimana Dia terus memelihara kita di saat-saat yang paling sulit sekalipun.—LISA M. SAMRA
WAWASAN
Alkitab memberi tahu kita tentang orang-orang yang berubah nama untuk
mencerminkan perubahan keadaan mereka. Abram yang tidak memiliki anak
menjadi Abraham, yang berarti “bapa sejumlah besar bangsa,” karena ia
sekarang akan memiliki keturunan yang tidak terhitung jumlahnya
(Kejadian 17:5). Simon menjadi Petrus, berarti “batu karang” setelah ia
menyatakan Yesus adalah Allah (Matius 16:17-18). Orangtua Naomi telah
memberinya nama indah yang berarti “manis atau menyenangkan.” Namun,
Naomi kemudian meminta untuk dipanggil “Mara,” berarti “pahit,” untuk
mencerminkan hidupnya yang keras dan sulit (Rut 1:20). Ketika Naomi dan
Rut memasuki Betlehem, “gemparlah seluruh kota itu karena mereka”
(ay.19). Betlehem adalah kota kecil (Mikha 5:1), dan para penduduknya
pasti masih mengingat Naomi meskipun ia sudah tidak tinggal di sana
selama lebih dari sepuluh tahun (Rut 1:4). Namun, pertanyaan mereka,
“Naomikah itu?” (ay.19) menandakan mereka hampir tidak bisa
mengenalinya. Mungkin jelas terlihat bahwa penampilannya telah berubah
banyak akibat penderitaannya.—K.T. Sim
Pikirkan nama julukan yang diberikan orang kepada kamu. Apa yang kamu suka atau tidak sukai tentang nama itu? Bagaimana sebutan sebagai “anak Allah yang dikasihi” mengubah cara pandang kamu terhadap diri sendiri?
Bapa Surgawi, terima kasih karena diriku tidak ditentukan oleh keadaan atau pengalaman hidupku. Terima kasih karena Engkau telah memanggilku sebagai anak-Mu.
No comments:
Post a Comment