Kadang-kadang saya merasa kucing saya, Heathcliff, begitu ingin tahu. Ketika saya pulang belanja, Heathcliff bergegas memeriksa isi kantong belanjaan saya. Saat saya memotong-motong sayuran, ia berdiri dengan kedua kaki belakangnya sambil memperhatikan sayur itu dan meminta bagiannya. Namun, ketika saya memberikan apa yang ia incar, tidak lama kemudian ia tidak lagi berminat, lalu pergi dengan tampang bosan.
Namun, melihat tingkah Heathcliff membuat saya harus berkaca. Saya teringat pada kelakuan saya sendiri yang selalu menginginkan lebih dan lebih lagi. Itu karena saya berasumsi bahwa apa yang saya miliki sekarang tidak akan cukup.
Menurut Paulus, rasa cukup bukan hal yang alami dalam diri, melainkan harus dipelajari (Flp. 4:11). Manusia selalu berusaha mengejar apa saja yang kita pikir akan memuaskan kita, dan langsung beralih ke yang lain begitu menyadari bahwa yang sebelumnya tidak memuaskan kita. Rasa tidak cukup kita juga terwujud dalam sikap membentengi diri dari hal-hal yang kita curigai sebagai ancaman.
Ironisnya, terkadang kita harus mengalami dahulu hal-hal yang paling kita takutkan agar kita dapat benar-benar merasakan sukacita. Setelah mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya, Paulus dapat menyaksikan sendiri “rahasia” dari rasa cukup yang sejati (ay.11-12). Itulah realitas misterius yang kita alami di saat kita menyerahkan segala kerinduan kita akan pemenuhan diri kepada Allah. Sebagai hasilnya, kita mengalami damai sejahtera yang melampaui segala akal (ay.6-7) untuk dibawa semakin dalam menikmati kuasa, keindahan, dan anugerah Kristus. —Monica Brands
WAWASAN
Paulus benar-benar tahu caranya merasa cukup dalam segala situasi. Ia memiliki hak istimewa karena lahir sebagai warga negara Romawi. Sebagai “orang Ibrani asli” (Filipi 3:5) yang belajar di bawah bimbingan Gamaliel, seorang rabi yang dihormati (Kisah Para Rasul 22:3), Paulus juga menikmati warisan keagamaan yang kuat. Namun, ia mengalami kesulitan yang amat berat. 2 Korintus 11 menguraikan serangkaian penderitaan yang dialaminya, termasuk dipenjara, dipukuli, disesah, dilempari batu, karam kapal, kelaparan, kehausan, dan sulit tidur (ay.23-28). Ingatlah segala kesulitan ini ketika Anda mendengar Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung [tetap merasa cukup] di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13).—Tim Gustafson
Paulus benar-benar tahu caranya merasa cukup dalam segala situasi. Ia memiliki hak istimewa karena lahir sebagai warga negara Romawi. Sebagai “orang Ibrani asli” (Filipi 3:5) yang belajar di bawah bimbingan Gamaliel, seorang rabi yang dihormati (Kisah Para Rasul 22:3), Paulus juga menikmati warisan keagamaan yang kuat. Namun, ia mengalami kesulitan yang amat berat. 2 Korintus 11 menguraikan serangkaian penderitaan yang dialaminya, termasuk dipenjara, dipukuli, disesah, dilempari batu, karam kapal, kelaparan, kehausan, dan sulit tidur (ay.23-28). Ingatlah segala kesulitan ini ketika Anda mendengar Paulus berkata, “Segala perkara dapat kutanggung [tetap merasa cukup] di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Filipi 4:13).—Tim Gustafson
Pernahkah kamu mengalami damai yang melampaui
segala akal di saat kamu justru tidak mengharapkannya? Kerinduan atau
ketakutan besar apa yang perlu kamu bawa sekarang ke hadapan Allah?
Bapa Surgawi, tolonglah aku untuk tidak lagi mencari kebahagiaanku sendiri, melainkan rela menikmati setiap saat bersama-Mu.