Ibunda Wallace Stegner meninggal dunia di usia lima puluh tahun. Ketika Wallace berusia delapan puluh tahun, barulah ia menulis pesan untuk ibunya. Di dalamnya, ia memuji kebajikan ibunya yang tumbuh, menikah, dan membesarkan dua anak lelaki pada masa-masa awal terbukanya daerah Barat Amerika yang liar dan keras. Sang ibu adalah istri dan ibu yang selalu memberi semangat, bahkan kepada mereka yang tidak diperhitungkan. Wallace teringat pada kekuatan yang ditunjukkan sang ibu melalui suaranya. Ia menulis: “Ibu, kau tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bernyanyi.” Sepanjang hidupnya, ibunda Stegner selalu bernyanyi, dalam ungkapan syukur atas berkat-berkat besar maupun kecil yang diterimanya.
Pemazmur juga tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bernyanyi. Ia bernyanyi tidak hanya ketika keadaan baik-baik saja, tetapi juga dalam keadaan yang sulit. Nyanyiannya tidak dipaksakan, melainkan mengalir begitu saja sebagai respons alami kepada Pribadi “yang menjadikan langit dan bumi” (146:6), saat melihat bagaimana Dia “memberi roti kepada orang-orang yang lapar” (ay.7) dan “membuka mata orang-orang buta” (ay.8) dan menegakkan kembali “anak yatim dan janda” (ay.9). Inilah yang dinamakan gaya hidup yang senantiasa penuh pujian, yang dari hari ke hari semakin dikuatkan oleh kepercayaan kepada “Allah Yakub” yang “tetap setia untuk selama-lamanya” (ay.5-6).
Yang menjadi soal bukanlah suara kita bagus atau tidak, tetapi bagaimana kita merespons kebaikan Allah yang tak berkesudahan dengan memiliki gaya hidup yang senantiasa penuh pujian, seperti yang diungkapkan sebuah himne, “Ada kidung dalam hatiku!”—John Blase
WAWASAN
Mazmur 146 tidak memiliki superskrip, artinya kita tidak memiliki informasi mengenai identitas sang penulis maupun keadaan yang mempengaruhi penulisan lagu tersebut. Namun, kita mengetahui bagaimana komunitas keagamaan memandang Mazmur 146. Banyak ahli percaya bahwa Mazmur 1 sengaja ditulis untuk membuka kitab Mazmur, sementara Mazmur 145-150 adalah lagu-lagu pujian yang dipilih untuk menutup buku nyanyian pujian Ibrani tersebut. Puji-pujian yang terkandung dalam bagian penutup ini disebut sebagai “haleluya yang tiada akhir” oleh seorang penulis. The Bible Knowledge Commentary setuju dengan pandangan ini, dengan menyatakan bahwa lagu-lagu ini adalah “doksologi agung bagi keseluruhan koleksi mazmur, karena puji-pujian memainkan peran yang lebih besar dalam Mazmur 145-150 dibandingkan dalam kebanyakan mazmur yang lain. Kata ‘praise’ (diterjemahkan oleh LAI sebagai ‘pujilah’/’haleluya’) muncul sebanyak 46 kali dalam keenam mazmur ini.” —Bill Crowder
Mazmur 146 tidak memiliki superskrip, artinya kita tidak memiliki informasi mengenai identitas sang penulis maupun keadaan yang mempengaruhi penulisan lagu tersebut. Namun, kita mengetahui bagaimana komunitas keagamaan memandang Mazmur 146. Banyak ahli percaya bahwa Mazmur 1 sengaja ditulis untuk membuka kitab Mazmur, sementara Mazmur 145-150 adalah lagu-lagu pujian yang dipilih untuk menutup buku nyanyian pujian Ibrani tersebut. Puji-pujian yang terkandung dalam bagian penutup ini disebut sebagai “haleluya yang tiada akhir” oleh seorang penulis. The Bible Knowledge Commentary setuju dengan pandangan ini, dengan menyatakan bahwa lagu-lagu ini adalah “doksologi agung bagi keseluruhan koleksi mazmur, karena puji-pujian memainkan peran yang lebih besar dalam Mazmur 145-150 dibandingkan dalam kebanyakan mazmur yang lain. Kata ‘praise’ (diterjemahkan oleh LAI sebagai ‘pujilah’/’haleluya’) muncul sebanyak 46 kali dalam keenam mazmur ini.” —Bill Crowder
Bagaimana kamu bisa menjadikan puji-pujian kepada Allah sebagai bagian yang tetap dalam hidupmu sehari-hari?
Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, bila
kurenungkan, alangkah luar biasanya pemeliharaan dan perlindungan-Mu
atasku. Kiranya hidupku menjadi lagu pujian yang terus mengalun untuk-Mu
seumur hidupku.
No comments:
Post a Comment