Dalam fabel kuno The Boy and the Filberts (Nuts), seorang bocah laki-laki memasukkan tangannya ke dalam stoples berisi kacang dan meraup segenggam penuh isinya. Namun, tangannya terlalu penuh sehingga tersangkut di mulut stoples. Karena tidak rela kehilangan sebutir kacang pun, bocah itu mulai menangis. Pada akhirnya, ia dinasihati untuk membuka genggamannya dan melepaskan sebagian kacang supaya tangannya dapat keluar dari stoples. Memang, ketamakan dapat memberikan pelajaran yang pahit kepada kita.
Guru bijak dalam kitab Pengkhotbah memberikan pelajaran tentang ketamakan lewat ilustrasi tangan dan mengaitkannya dengan hidup kita. Ia membandingkan dan mengontraskan seorang pemalas dengan si rakus dengan menulis: “Orang yang bodoh melipat tangannya dan memakan dagingnya sendiri. Segenggam ketenangan lebih baik dari pada dua genggam jerih payah dan usaha menjaring angin” (4:5-6). Sementara si pemalas menunda-nunda sampai akhirnya hancur sendiri, orang yang mengejar kekayaan akan menyadari bahwa usahanya merupakan “kesia-siaan dan hal yang menyusahkan” (ay.8).
Menurut sang guru, alangkah lebih baiknya memilih ketenangan daripada berupaya keras meraup segala sesuatu dengan rakus supaya kita merasa cukup dalam hal-hal yang memang menjadi milik kita. Karena yang menjadi bagian kita akan selalu tersedia bagi kita. Inilah yang Yesus katakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya” (Mrk. 8:36). —Remi Oyedele
WAWASAN
Kitab Pengkhotbah memang tepat ditempatkan dalam kategori Kitab Hikmat (Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung). Kitab yang tidak terlalu populer ini sejak awal menggarisbawahi keprihatinan umat manusia, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Allah, kehidupan di bumi, kekekalan, suka duka, kebaikan dan kejahatan, maut dan kematian, hikmat dan kebodohan. Kitab Pengkhotbah ibarat jurnal dua belas bab di mana sang penulis mencatat pemikiran dan pengamatannya tentang kehidupan. Penulisnya sangat realistis (ia tidak mengabaikan rumitnya kehidupan) dan memakai ungkapan-ungkapan yang menunjukkan beragam keputusasaannya. Kata sia-sia diulangi tiga puluh lima kali, dan usaha menjaring angin muncul sembilan kali. Namun, penulis bukanlah seorang ateis—ia percaya kepada Allah. Ia mendorong pembacanya untuk mengakui dan menghormati Pencipta mereka. Mengapa? “Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (12:14). —Arthur Jackson
Kitab Pengkhotbah memang tepat ditempatkan dalam kategori Kitab Hikmat (Ayub, Mazmur, Amsal, Pengkhotbah, Kidung Agung). Kitab yang tidak terlalu populer ini sejak awal menggarisbawahi keprihatinan umat manusia, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Allah, kehidupan di bumi, kekekalan, suka duka, kebaikan dan kejahatan, maut dan kematian, hikmat dan kebodohan. Kitab Pengkhotbah ibarat jurnal dua belas bab di mana sang penulis mencatat pemikiran dan pengamatannya tentang kehidupan. Penulisnya sangat realistis (ia tidak mengabaikan rumitnya kehidupan) dan memakai ungkapan-ungkapan yang menunjukkan beragam keputusasaannya. Kata sia-sia diulangi tiga puluh lima kali, dan usaha menjaring angin muncul sembilan kali. Namun, penulis bukanlah seorang ateis—ia percaya kepada Allah. Ia mendorong pembacanya untuk mengakui dan menghormati Pencipta mereka. Mengapa? “Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat” (12:14). —Arthur Jackson
Apa yang selama ini kamu kejar dan genggam?
Bagaimana kamu dapat menerapkan kata-kata bijak dari Pengkhotbah agar
kamu mengalami ketenangan dalam hidup?
Ya Allah, terima kasih untuk pemeliharaan dan
kehadiran-Mu yang setia dalam hidupku. Tolonglah aku agar dapat hidup
dengan rasa cukup, yang sungguh-sungguh menunjukkan rasa syukur kami
kepada-Mu.
No comments:
Post a Comment