“Apa cita-citamu kalau sudah besar nanti?” Kita semua pernah ditanya seperti itu sewaktu kecil, bahkan terkadang saat sudah dewasa. Pertanyaan itu terlontar karena rasa ingin tahu, dan jawaban yang diberikan sering kali bisa menjadi indikasi dari ambisi. Jawaban saya berubah-ubah, dari ingin menjadi koboi, sopir truk, tentara, hingga memutuskan untuk belajar menjadi dokter di perguruan tinggi. Meski demikian, tidak pernah satu kali pun saya ingat ada yang menyarankan, atau saya secara sadar mempertimbangkan, untuk berusaha “hidup dengan tenang.”
Namun, itulah yang dinasihatkan Paulus kepada jemaat di Tesalonika. Pertama, ia mendorong mereka untuk saling mengasihi dan terutama mengasihi seluruh keluarga Allah (1 Tes. 4:10). Ia lalu memberikan mereka nasihat yang mencakup secara luas apa pun yang mereka usahakan saat itu: “Berusahalah hidup dengan tenang” (ay.11 BIS). Apa yang sebenarnya dimaksudkan Paulus? Ia menghendaki mereka untuk “tidak mencampuri persoalan orang lain. Hendaklah [mereka] bekerja mencari nafkah sendiri,” supaya tidak menjadi beban bagi siapa pun dan orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus akan menghormati mereka (ay.11-12 BIS). Ini bukan berarti bahwa anak-anak tidak boleh mengembangkan bakat atau mewujudkan cita-cita mereka, tetapi kita dapat mengingatkan mereka bahwa apa pun yang kelak dijalani, mereka patut mengerjakannya dengan sikap yang tenang.
Jika kita melihat keadaan dunia saat ini, sulit rasanya menjalani hidup yang tenang di tengah dunia yang ambisius. Namun, nasihat Kitab Suci selalu relevan terhadap segala zaman, jadi mungkin kita perlu memikirkan bagaimana kita dapat mulai menjalani hidup yang lebih tenang. —John Blasé
WAWASAN
Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika adalah salah satu surat penggembalaannya yang paling menonjol. Pada pasal 2, berulangkali ia menyapa mereka dengan penuh kasih, menyebut mereka “saudara-saudara” (ay.1, 14, 17). Rasul Paulus juga mengungkapkan kepeduliannya dengan mengatakan bahwa ia dan rekan pelayanannya tidak bersikap memerintah, tetapi memperlakukan mereka dengan ramah (ay.7). Paulus bahkan menggambarkan dirinya seperti seorang “ibu” yang mengasuh dan merawat anaknya. Sebagai bukti kasihnya, Paulus menunjukkan jerih lelahnya dalam memberitakan Injil kepada mereka dan melengkapi gambaran kekeluargaan itu dengan melukiskan dirinya sebagai bapa bagi anak-anaknya (ay.8-11). Semua itu bukan hanya memperlihatkan karakter surat penggembalaan, tetapi juga sebuah surat pribadi. —Bill Crowder
Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika adalah salah satu surat penggembalaannya yang paling menonjol. Pada pasal 2, berulangkali ia menyapa mereka dengan penuh kasih, menyebut mereka “saudara-saudara” (ay.1, 14, 17). Rasul Paulus juga mengungkapkan kepeduliannya dengan mengatakan bahwa ia dan rekan pelayanannya tidak bersikap memerintah, tetapi memperlakukan mereka dengan ramah (ay.7). Paulus bahkan menggambarkan dirinya seperti seorang “ibu” yang mengasuh dan merawat anaknya. Sebagai bukti kasihnya, Paulus menunjukkan jerih lelahnya dalam memberitakan Injil kepada mereka dan melengkapi gambaran kekeluargaan itu dengan melukiskan dirinya sebagai bapa bagi anak-anaknya (ay.8-11). Semua itu bukan hanya memperlihatkan karakter surat penggembalaan, tetapi juga sebuah surat pribadi. —Bill Crowder
Apakah nasihat Paulus untuk “tidak mencampuri
persoalan orang lain” dapat kamu terima? Siapakah temanmu yang hidup
dengan tenang dan ingin kamu teladani?
Tuhan Yesus, menjalani hidup dengan tenang
memang menarik, tetapi tidak mudah. Mampukanlah aku mengurus persoalanku
sendiri, bukan karena aku menutup diri, tetapi agar aku tidak menambah
masalah di dalam dunia ini.
No comments:
Post a Comment