“Sepertinya semakin aku bertambah tua, semakin Ayah terlihat bijak. Kadang saat aku menasihati anakku, aku mendengar perkataan Ayah keluar dari mulutku!”
Pernyataan anak perempuan saya yang blak-blakan itu membuat saya tertawa. Hal yang sama saya rasakan terhadap kedua orangtua saya sendiri. Sering saya menasihati anak-anak saya dengan nasihat yang telah saya terima dari mereka. Setelah menjadi ayah, perspektif saya tentang kebijaksanaan orangtua berubah. Apa yang pernah saya anggap sepele ternyata jauh lebih bijaksana daripada yang dahulu saya kira—saya hanya tidak bisa langsung memahaminya saat itu.
Alkitab mengajarkan bahwa “yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia” yang paling cerdas (1 Kor. 1:25). “Oleh karena dunia, dalam hikmat Allah, tidak mengenal Allah oleh hikmatnya, maka Allah berkenan menyelamatkan mereka yang percaya oleh kebodohan pemberitaan Injil” tentang Sang Juruselamat yang menderita (ay.21).
Allah selalu punya cara untuk mengejutkan kita. Alih-alih datang sebagai raja perkasa seperti yang diharap-harapkan oleh dunia, Anak Allah justru datang sebagai hamba yang menderita dan mati secara mengenaskan di atas kayu salib—sebelum kemudian dibangkitkan dalam kemuliaan yang tak tertandingi.
Menurut hikmat Allah, kerendahan hati lebih berharga daripada kebanggaan diri, dan kasih menunjukkan nilainya lewat belas kasihan dan kebaikan yang sesungguhnya tidak layak diterima. Melalui salib, Mesias yang tak tertaklukkan itu menjadi korban tertinggi—supaya Dia “menyelamatkan dengan sempurna” (Ibr. 7:25) semua orang yang percaya kepada-Nya! —James Banks
WAWASAN
Paulus menulis surat 1 Korintus dari Efesus di Asia, sebuah provinsi Romawi, menjelang akhir tahun ketiga pelayanannya di sana (sekitar tahun 55-57 M). Menurut penulis Ray Stedman dalam tafsiran 1 dan 2 Korintus karangannya, Korintus sebagai kota pelabuhan yang kaya adalah sebuah “pusat perdagangan” dan kota wisata, tetapi juga “kota dengan kemerosotan moral - prostitusi dan bentuk imoralitas lainnya.” Penduduknya juga “menyembah Afrodit, dewi seksualitas Yunani.” Jadi, orang Kristen dalam gereja baru yang dirintis Paulus di Korintus pada perjalanan misi kedua berhadapan dengan budaya yang bertentangan dengan Injil. Pada surat ini, Paulus memberikan panduan dan semangat untuk umat percaya yang sedang bergumul untuk hidup bagi Yesus di tengah kebudayaan mereka. Dia membahas berbagai isu seperti perpecahan dan imoralitas, serta mengenai apa artinya merdeka dalam Kristus. —Alyson Kieda
Paulus menulis surat 1 Korintus dari Efesus di Asia, sebuah provinsi Romawi, menjelang akhir tahun ketiga pelayanannya di sana (sekitar tahun 55-57 M). Menurut penulis Ray Stedman dalam tafsiran 1 dan 2 Korintus karangannya, Korintus sebagai kota pelabuhan yang kaya adalah sebuah “pusat perdagangan” dan kota wisata, tetapi juga “kota dengan kemerosotan moral - prostitusi dan bentuk imoralitas lainnya.” Penduduknya juga “menyembah Afrodit, dewi seksualitas Yunani.” Jadi, orang Kristen dalam gereja baru yang dirintis Paulus di Korintus pada perjalanan misi kedua berhadapan dengan budaya yang bertentangan dengan Injil. Pada surat ini, Paulus memberikan panduan dan semangat untuk umat percaya yang sedang bergumul untuk hidup bagi Yesus di tengah kebudayaan mereka. Dia membahas berbagai isu seperti perpecahan dan imoralitas, serta mengenai apa artinya merdeka dalam Kristus. —Alyson Kieda
Kapankah jalan-jalan Allah pernah membuat kamu
bingung? Bagaimana kamu merasa terhibur oleh kenyataan bahwa
jalan-jalan-Nya bukanlah jalan kita?
Ya Bapa, aku memuji-Mu karena hikmat dari
jalan-jalan-Mu. Tolonglah aku mempercayai-Mu dan berjalan bersama-Mu
dengan rendah hati hari ini.
No comments:
Post a Comment