Kami pernah memelihara anjing West Highland Terrier selama beberapa tahun. Anjing kecil jenis “Westie” ini sangat kuat dan dibiakkan untuk memburu musang sampai ke dalam liangnya serta menangkap “mangsa” di sarangnya. Meski merupakan turunan kesekian dari generasi pertamanya, anjing Westie kami masih memiliki naluri asal setelah melalui pembiakan bertahun-tahun. Pada suatu waktu, anjing kami sangat terobsesi dengan “makhluk” yang ada di bawah batu di kebun belakang kami. Tidak ada yang dapat mengalihkan perhatian anjing itu. Anjing kami terus menggali dan menggali sampai kedalaman beberapa meter di bawah batu itu.
Sekarang pikirkanlah: Mengapa sebagai manusia kita terus-menerus mengejar sesuatu? Mengapa kita merasa harus menaklukkan gunung-gunung yang belum terdaki dan berseluncur di lereng-lereng yang sangat terjal? Mengapa kita mengarungi jeram yang paling sulit dan berbahaya, serta menantang kekuatan alam? Sebagian karena hasrat kita untuk berpetualang dan mencari kesenangan, tetapi ada yang lebih dari itu. Yang saya maksud adalah naluri terhadap Allah yang telah tertanam dalam diri kita. Tidak bisa tidak, kita ingin menemukan Allah.
Tentu saja kita tidak menyadari hal itu. Yang kita tahu hanyalah bahwa kita merindukan sesuatu. “kamu tidak tahu apa yang sebenarnya kamu inginkan,” kata Mark Twain, “tetapi kamu begitu menginginkannya sampai setengah mati rasanya.”
Allah adalah kediaman hati kita yang sejati. Agustinus, sang bapa gereja, pernah menyatakan dalam kutipannya yang sangat terkenal: “Engkau telah menciptakan kami untuk diri-Mu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami takkan tenteram sebelum berdiam di dalam-Mu.”
Apakah hati itu? Sebuah kekosongan batin yang begitu mendalam yang hanya dapat dipenuhi oleh Allah. —David Roper
Tuhan, tolonglah aku menyadari kerinduanku yang
terdalam akan Engkau. Penuhilah aku dengan pengenalan akan Engkau.
Bawalah aku mendekat kepada-Mu.
Di balik semua hasrat kita, ada kerinduan yang mendalam akan Allah.
No comments:
Post a Comment