Pages - Menu

Sunday, April 30, 2017

Dikasihi Selamanya

Ketahuilah, bahwa Tuhan telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya. —Mazmur 4:4
Dikasihi Selamanya
Mungkin ada di antara kita yang menjalani hari demi hari dengan perasaan tertolak, terabaikan, atau direndahkan. Terkadang kita bahkan melakukan semua itu terhadap diri sendiri. Para musuh berusaha menjatuhkan Daud—mengecam, mengancam, dan melontari dirinya dengan berbagai penghinaan. Harga diri dan kepercayaan diri Daud merosot drastis (Mzm. 4:2-3). Ia meminta Allah agar memberinya kelegaan dan melepaskannya dari “kesesakan”.
Kemudian Daud teringat, “Ketahuilah, bahwa Tuhan telah memilih bagi-Nya seorang yang dikasihi-Nya” (ay.4). Sejumlah terjemahan Alkitab lain mencoba untuk menangkap esensi sepenuhnya dari penegasan Daud itu denganmenerjemahkan “seorang yang dikasihi-Nya” menjadi“ orang yang saleh”. Bahasa Ibrani yang digunakan di sini adalah hesed, yang secara harfiah mengacu pada ikatan kasih dari perjanjian Allah dan dapat juga diterjemahkan menjadi “orang yang dikasihi Allah terus-menerus hingga selama-lamanya”.
Inilah yang harus kita ingat juga: Kita ini dikasihi selamanya, dipilih secara khusus, disayang oleh Allah sebagaimana Dia menyayangi Anak-Nya sendiri. Dia telah memanggil kita menjadi anak-anak-Nya untuk selama-lamanya.
Daripada berputus asa, kita dapat mengingatkan diri kita sendiri tentang kasih yang kita terima secara cuma-cuma dari Allah Bapa kita. Kita adalah anak-anak yang sangat dikasihi-Nya. Akhir dari segalanya bukanlah keputusasaan, melainkan ketenteraman dan sukacita (ay.8-9). Dia tidak pernah menyerah terhadap kita, dan Dia tidak akan pernah berhenti mengasihi kita. —David Roper
Bapa di surga, kata-kata orang lain memang dapat melukai hati kami. Namun perkataan-Mu dapat memulihkan dan menghibur kami, dan Engkau meyakinkan kami bahwa kami dikasihi selamanya.
Ukuran sejati dari kasih Allah adalah bahwa kasih-Nya itu tak terukur. —Bernard dari Clairvaux

Saturday, April 29, 2017

Ketika Pagi Datang

Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat. —Ibrani 11:1
Ketika Pagi Datang
Waktu itu sudah sangat larut saat kami singgah untuk bermalam di sebuah penginapan di luar kota Munich. Kami sangat senang saat melihat kamar kami memiliki balkon, meskipun kabut tebal membuat kami tidak dapat melihat kegelapan di luar. Namun, ketika matahari terbit beberapa jam kemudian, kabut pun mulai memudar. Kemudian kami bisa melihat sesuatu yang sebelumnya terselubung oleh kegelapan malam—pemandangan yang begitu indah—padang rumput yang menghijau dan teduh, domba-domba yang merumput dengan lonceng-lonceng kecil berdenting di leher mereka, dan awan putih besar di langit yang terlihat begitu mirip dengan domba-domba yang gemuk dan besar!
Terkadang hidup dapat diselubungi oleh tebalnya kabut keputusasaan. Situasi yang kita hadapi mungkin terlihat begitu kelam sehingga kita mulai kehilangan harapan. Namun, seperti sinar matahari yang mengusir kabut, iman kita kepada Allah dapat mengusir kabut keraguan kita. Ibrani 11 mendefinisikan iman sebagai “dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (ay.1). Pasal itu kemudian mengingatkan kita pada iman dari Nuh “yang diberitahu oleh Allah tentang hal-hal yang akan terjadi kemudian, yang tidak dapat dilihat olehnya” tetapi ia menaati Allah (ay.7 BIS). Abraham juga pergi ke negeri yang ditunjukkan Allah, meski ia tidak mengetahui ke mana ia pergi (ay.8).
Meskipun kita tidak pernah melihat Allah dan tidak selalu merasakan kehadiran-Nya, Allah selalu hadir dan Dia akan menolong kita untuk melewati malam-malam yang terkelam sekalipun. —Cindy Hess Kasper
Bapa, terima kasih karena Engkau berjanji untuk menyertai kami di sepanjang hidup kami. Pada saat kami ragu, tolonglah kami untuk meyakini bahwa Engkau memegang kendali dan kami dapat mempercayai-Mu.
Iman adalah radar yang dapat melihat apa yang ada di balik kabut. —Corrie Ten Boom

Friday, April 28, 2017

Tidak Perlu Marah

Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan. —Amsal 20:3
Tidak Perlu Marah
Suatu pagi di Perth, Australia, Fionn Mulholland menemukan bahwa mobilnya hilang. Pada saat itulah, ia baru menyadari kekeliruannya karena telah memarkir mobil di zona terlarang sehingga mobilnya harus diderek. Setelah mempertimbangkan situasi yang ada—termasuk pengeluaran $600 untuk membayar denda parkir dan ongkos derek—Mulholland menjadi frustrasi. Namun, ia memutuskan tidak akan meluapkan kemarahannya kepada orang yang harus ditemuinya agar mobilnya bisa ditebus. Daripada melampiaskan emosinya, Mulholland pun menulis sebuah puisi lucu tentang situasi yang dihadapinya dan membacakan puisi itu kepada karyawan yang ditemuinya di tempat penderekan. Ternyata karyawan itu menyukai puisinya, dan pertikaian buruk yang mungkin terjadi akhirnya bisa dihindari.
Kitab Amsal mengajarkan, “Terhormatlah seseorang, jika ia menjauhi perbantahan” (20:3). Perbantahan atau pertengkaran adalah gesekan yang terjadi di bawah permukaan atau meletup di depan umum di antara orang-orang yang berbeda pendapat tentang sesuatu.
Allah telah memberikan sumber daya bagi kita agar dapat hidup damai dengan orang lain. Firman-Nya meyakinkan bahwa kita dapat marah tanpa membiarkan kemarahan itu menjadi berlarut-larut (Ef. 4:26). Roh-Nya memampukan kita untuk mengatasi percikan-percikan kemarahan yang dapat menjerumuskan kita pada tindakan atau ucapan yang dimaksudkan untuk membalas orang yang menjengkelkan kita. Dan Allah telah memberikan teladan-Nya untuk diikuti ketika kita merasa terpancing (1Ptr. 2:23). Allah itu penyayang, pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih, dan setia (Mzm. 86:15). —Jennifer Benson Schuldt
Ya Allah, tolong aku untuk mengendalikan kemarahanku
dengan cara yang tidak membawaku ke dalam dosa.
Berilah aku pengendalian diri oleh kuasa Roh Kudus-Mu.
Lambatlah untuk marah.

Thursday, April 27, 2017

Belajar Bahasa

Ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: KEPADA ALLAH YANG TIDAK DIKENAL. —Kisah Para Rasul 17:23
Belajar Bahasa
Saya berdiri di hadapan jemaat suatu gereja kecil di Jamaika dan menyapa mereka dengan dialek lokal, “Wah Gwan, Jamaika?” Reaksi yang saya terima lebih baik daripada yang saya harapkan—mereka semua tersenyum dan bertepuk tangan menyambut saya.
Sebenarnya yang saya katakan hanyalah salam biasa, “Apa kabar?” dalam bahasa Patois [pa-twa]. Namun, bagi mereka saya sedang berkata, “Dengan berbicara dalam bahasamu, saya belajar memahami kamu.” Tentu saja saya belum banyak tahu untuk dapat berbicara terus dalam bahasa Patois, tetapi pintu kesempatan telah terbuka.
Ketika berdiri di hadapan orang-orang Atena, Rasul Paulus menunjukkan kepada mereka bahwa ia mengenal budaya mereka. Ia mengatakan bahwa ia melihat mezbah mereka yang ditujukan “kepada allah yang tidak dikenal,” dan ia mengutip salah seorang penyair mereka. Tentu, tidak semua orang mempercayai pesan Paulus tentang kebangkitan Yesus, tetapi ada dari mereka yang berkata, “Kami ingin mendengar Saudara berbicara lagi mengenai hal ini” (Kis. 17:32 BIS).
Ketika kita berbicara kepada orang lain tentang Tuhan Yesus dan keselamatan yang Dia tawarkan, pelajaran-pelajaran dari Kitab Suci mengajarkan kepada kita cara untuk dapat memahami mereka— ibaratnya mempelajari bahasa mereka—agar terbuka jalan untuk memberitakan kabar baik kepada mereka (lihat juga 1Kor. 9:20-23).
Ketika kita mengetahui “Wah Gwan?” dalam kehidupan orang lain, terbukalah pintu bagi kita untuk bersaksi tentang apa yang telah Allah perbuat dalam hidup kita. —Dave Branon
Tunjukkan kepada kami, ya Tuhan, apa yang penting bagi orang lain. Tolong kami untuk mendahulukan kepentingan orang lain, dan berilah kepada kami kesempatan untuk menceritakan tentang kasih Yesus.
Sebelum kamu membagikan kabar baik tentang Kristus kepada orang lain, biarlah terlebih dahulu mereka melihat kepedulianmu.

Wednesday, April 26, 2017

Menjamah Seseorang

Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu. —Lukas 5:13
Menjamah Seseorang
Para penumpang dalam kereta Canadian Metro menyaksikan sebuah peristiwa menegangkan yang berakhir dengan mengharukan. Mereka melihat seorang wanita berusia 70 tahun mengulurkan tangannya dan menjamah dengan lembut seorang pemuda yang sempat berteriak-teriak dan mengumpat hingga membuat khawatir penumpang lainnya. Kebaikan wanita tua itu dapat menenangkan si pemuda yang akhirnya rebah ke lantai kereta dengan berderai air mata. Anak muda itu berkata, “Terima kasih, Nek,” lalu berdiri dan pergi dari sana. Wanita tua itu mengakui bahwa ia sebenarnya takut. Namun, ia berkata, “Saya seorang ibu dan anak muda itu butuh sentuhan seseorang.” Mungkin lebih bijak baginya untuk menjaga jarak, tetapi wanita itu memilih untuk mengambil risiko dengan menunjukkan kasih kepada si pemuda.
Yesus memahami belas kasihan semacam itu. Dia mengesampingkan rasa takut orang banyak saat melihat seorang laki-laki yang tubuhnya penuh kusta muncul dan memohon untuk disembuhkan. Yesus juga berkuasa, tidak seperti para pemimpin agama yang tidak sanggup menolong dan yang mungkin hanya dapat mengutuk orang kusta karena membawa penyakitnya masuk ke desa (Im. 13:45-46). Sebaliknya, Tuhan Yesus mengulurkan tangan-Nya dan menjamah seseorang yang mungkin belum pernah disentuh oleh siapa pun selama bertahun-tahun, lalu menyembuhkannya.
Syukurlah, demi laki-laki itu dan demi kita, Yesus datang untuk memberikan apa yang tidak dapat diberikan oleh hukum mana pun, yakni jamahan tangan dan hati-Nya. —Mart DeHaan
Bapa di surga, tolonglah kami untuk melihat diri kami dan satu sama lain seperti penderita kusta itu—dan dari sudut pandang Anak-Mu yang dengan penuh belas kasihan menjamah dan menyembuhkannya.
Tidak ada orang yang terlampau najis atau berdosa untuk dijamah oleh Yesus.

Tuesday, April 25, 2017

Jangan Menyerah

Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. —Galatia 6:9
Jangan Menyerah
Bob Foster adalah seorang mentor dan sahabat yang tidak pernah berhenti mendukung saya selama lebih dari 50 tahun. Persahabatan dan penghiburan yang diberikannya tidak pernah berubah, bahkan di saat saya mengalami masa-masa kelam. Semua itu telah menolong saya untuk tetap maju dalam hidup ini.
Kita sering berniat menolong seorang kenalan kita yang sedang membutuhkan pertolongan. Namun, ketika kita tidak melihat adanya perkembangan yang langsung terjadi, niat kita melemah dan akhirnya kita tergoda untuk menyerah saja. Kita mengharapkan adanya perubahan secara cepat, tetapi yang terjadi justru proses yang panjang.
Rasul Paulus mendorong kita untuk bersikap sabar saat menolong satu sama lain melewati berbagai kesulitan dan pergumulan hidup. Ketika menulis, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu” sehingga kita “memenuhi hukum Kristus” (Gal. 6:2), Paulus membandingkan tanggung jawab kita dengan kerja keras, waktu, dan penantian seorang petani yang mengharapkan panen.
Berapa lamakah seharusnya kita berdoa dan melayani mereka yang kita kasihi? “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah” (ay.9). Berapa kali seharusnya kita menolong mereka? “Selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” (ay.10).
Hari ini, Tuhan mengajak kita untuk senantiasa mempercayai-Nya, tetap setia melayani sesama, tetap berdoa, dan tidak lekas menyerah! —David McCasland
Bapa di surga, berikanlah kepada kami pengharapan dan ketekunan untuk terus setia melayani dan menolong sesama kami.
Dalam doa kita berseru kepada Allah “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan”. —Efesus 3:20

Monday, April 24, 2017

Hal-Hal Kecil

Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas. —Yakobus 1:17
Hal-Hal Kecil
Teman saya Gloria menelepon dengan suara yang penuh kegembiraan. Selama ini ia tidak pernah dapat keluar rumah kecuali untuk bertemu dokter. Jadi saya mengerti mengapa ia sangat bersukacita saat menceritakan bahwa putranya baru saja memasang perangkat pengeras suara di komputernya. Sekarang ia dapat mendengar dan menyaksikan siaran langsung dari kebaktian yang berlangsung di gerejanya. Ia sangat mensyukuri kebaikan Allah dan “hadiah terbaik yang kuterima dari putraku!”
Gloria mengajari saya tentang memiliki hati yang bersyukur. Walaupun ia memiliki banyak keterbatasan, ia bersyukur untuk hal-hal kecil—matahari terbenam, keluarga dan tetangganya yang suka menolong, waktu teduhnya bersama Allah, kesempatan untuk dapat tetap tinggal di apartemennya. Ia telah melihat pemeliharaan Allah di sepanjang hidupnya, dan kini ia menceritakan tentang Allah kepada siapa saja yang mengunjungi atau meneleponnya.
Kita tidak tahu kesulitan apa yang dihadapi penulis Mazmur 116. Beberapa tafsiran Alkitab mengatakan bahwa mungkin karena penyakit yang dideritanya ia berkata, “Tali-tali maut telah meliliti aku” (ay.3). Namun, pemazmur mengucap syukur kepada Tuhan karena kebaikan dan belas kasih-Nya pada saat ia “sudah lemah” (ay.5-6).
Ketika kita merasa lemah, sangat sulit bagi kita untuk memandang ke atas. Namun, bila kita memandang ke atas, kita akan melihat bahwa Allah adalah Pemberi dari setiap hal yang baik dalam hidup kita—besar dan kecil—dan kita pun belajar untuk mengucap syukur kepada-Nya. —Anne Cetas
Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan segala kebajikan-Nya kepadaku? . . . Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu. —Mazmur 116:12,17
Pujian kepada Allah akan muncul secara alami ketika kamu menghitung berkat-berkat yang kamu terima.

Sunday, April 23, 2017

Piano yang Menyusut

Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus. —Filipi 1:6
Piano yang Menyusut
Selama tiga tahun berturut-turut, putra saya mengikuti resital piano. Pada tahun ketiga, saya menyaksikannya mengatur pijakan kaki dan kertas partitur lalu memainkan dua lagu. Setelah itu, ia duduk di sebelah saya sambil berbisik, “Ibu, tahun ini pianonya lebih kecil.” Saya berkata, “Bukan, itu piano yang sama dengan yang kamu mainkan tahun lalu. Kamulah yang bertambah besar! Kamu telah bertumbuh.” Seperti halnya pertumbuhan jasmani, pertumbuhan rohani sering terjadi perlahan seiring berjalannya waktu. Pertumbuhan rohani merupakan proses yang berlangsung terus-menerus untuk menjadi semakin serupa dengan Yesus, dan itu terjadi ketika kita diubahkan melalui pembaruan budi kita (Rm. 12:2).
Ketika Roh Kudus bekerja dalam diri kita, kita menjadi lebih peka terhadap dosa dalam hidup kita. Dengan kerinduan untuk memuliakan Allah, kita pun mau berusaha untuk berubah. Kadangkala usaha kita berhasil, tetapi di lain waktu kita gagal. Ketika sepertinya tidak ada yang berubah, kita dapat berkecil hati. Kita mungkin menyamakan kegagalan itu dengan kemandekan, padahal sebenarnya itu adalah bukti bahwa kita sedang berada dalam proses perubahan.
Pertumbuhan rohani melibatkan Roh Kudus, kerelaan kita untuk berubah, dan juga waktu. Kelak di dalam hidup kita, kita akan melihat ke belakang dan menyadari bahwa kita memang telah bertumbuh secara rohani. Kiranya Allah memberi kita iman untuk tetap percaya bahwa “Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp. 1:6). —Jennifer Benson Schuldt
Allah terkasih, berilah aku kerinduan untuk bertumbuh secara rohani. Aku ingin memuliakan-Mu dengan segenap hidupku dan merasakan sukacita dari karya Roh Kudus dalam hidupku.
Pertumbuhan rohani adalah sebuah proses.

Saturday, April 22, 2017

Selalu Mendengarkan

Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya, pada setiap orang yang berseru kepada-Nya dalam kesetiaan. —Mazmur 145:18
Selalu Mendengarkan
Ayah saya jarang bicara. Ia mengalami gangguan pendengaran sebagai dampak dari dinas militer bertahun-tahun dan kini menggunakan alat bantu dengar. Suatu sore ketika saya dan ibu berbincang-bincang agak lama, ayah menanggapinya dengan jenaka, “Setiap kali aku menginginkan ketenangan dan kedamaian, aku cukup melakukan ini.” Sambil mengangkat kedua tangannya bersamaan, ayah mematikan kedua alat bantu dengarnya, melipat tangannya di belakang kepala, lalu menutup mata sambil tersenyum dengan tenang. Kami tertawa. Baginya, pembicaraan itu sudah selesai.
Tindakan ayah saya sore itu mengingatkan saya tentang betapa berbedanya Allah dengan kita. Dia selalu ingin mendengarkan anak-anak-Nya. Hal itu dipertegas oleh salah satu doa tersingkat di Alkitab. Nehemia adalah pelayan Raja Artahsasta dari Persia. Suatu hari, Nehemia terlihat sedih di hadapan raja. Ketika sang raja menanyakan alasan kesedihannya, dengan takut Nehemia mengaku bahwa itu karena Yerusalem, kota nenek moyangnya yang sudah ditaklukkan, telah menjadi reruntuhan. Nehemia bercerita, “Lalu kata raja kepadaku: ‘Jadi, apa yang kauinginkan?’ Maka aku berdoa kepada Allah semesta langit, kemudian jawabku kepada raja . . . .” (Neh. 2:4-5).
Doa Nehemia hanya berlangsung sesaat, tetapi Allah mendengarnya. Dalam kasih-Nya, Allah mulai menjawab banyaknya doa yang sudah pernah dipanjatkan Nehemia untuk Yerusalem. Pada saat itu juga, Artahsasta mengabulkan permohonan Nehemia untuk membangun kembali kota Yerusalem.
Tidakkah kita terhibur saat mengetahui bahwa Allah begitu peduli hingga Dia mau mendengarkan semua doa kita—baik yang singkat maupun yang panjang? —James Banks
Terima kasih, Bapa Mahakasih, karena Engkau telah mengaruniakan kepadaku hak istimewa dan kesempatan yang indah untuk berdoa.
Begitu besarnya Allah, Dia mendengar suara yang terkecil sekalipun.

Friday, April 21, 2017

Karunia Memberi

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan. —2 Korintus 9:7
Karunia Memberi
Seorang pendeta menerapkan pepatah “Hanyut dipintasi, lulus diselami, hilang dicari” (yang berarti, menolong orang yang kesusahan) dengan memberikan tantangan yang mengejutkan kepada jemaatnya. Ia berkata, “Bagaimana jika kita melepas baju hangat yang kita pakai sekarang dan memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan?” Kemudian ia melepas baju hangatnya dan menaruhnya di depan gereja. Puluhan jemaat pun mengikuti apa yang dilakukannya. Peristiwa itu terjadi pada musim dingin, sehingga hari itu mereka pulang dengan kurang nyaman karena hawa dingin yang menusuk tulang. Namun, bagi puluhan orang lain yang membutuhkan kehangatan, musim dingin itu menjadi lebih tertahankan.
Ketika Yohanes Pembaptis mengembara di padang gurun Yudea, ia memberikan peringatan keras kepada orang banyak yang datang untuk mendengarkannya. “Hai kamu keturunan ular beludak! . . . Hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (Luk. 3:7-8). Kaget dengan ucapan Yohanes, mereka bertanya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawabnya dengan nasihat ini: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian” (ay.10-11). Pertobatan sejati akan membuahkan kemurahan hati.
Karena “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita,” memberi seharusnya bukan didasarkan oleh perasaan bersalah atau terpaksa (2Kor. 9:7). Saat kita memberi dengan murah hati dan sukarela, kita akan mengalami bahwa memang lebih berbahagia memberi daripada menerima. —Tim Gustafson
Tuhan, terima kasih atas beragamnya cara-Mu dalam memberkati kami. Ampunilah kami yang sering meremehkan semua kebaikan-Mu. Tunjukkan kepada kami apa yang dapat kami gunakan untuk memberkati sesama hari ini.
Orang yang suka menolong akan ditolong juga. —Amsal 11:25 BIS

Thursday, April 20, 2017

Berserah

Berfirmanlah Tuhan kepada Abram, “Pergilah . . . ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.” —Kejadian 12:1
Berserah
Untuk merayakan ulang tahun pernikahan kami, Mike meminjam sebuah sepeda tandem agar kami dapat menikmati petualangan romantis bersama. Ketika kami mulai mengayuh, saya menyadari bahwa sebagai pengendara yang duduk di belakang, pandangan saya terhalang oleh bahu suami saya yang lebar. Selain itu, setang sepeda yang saya pegang tidak bisa dibelokkan dan tidak mempengaruhi arah sepeda. Hanya setang di bagian depan yang menentukan arah sepeda; setang yang saya pegang hanya berguna untuk menopang bagian atas dari tubuh saya. Hanya ada dua pilihan bagi saya: menjadi frustrasi karena tidak bisa menentukan arah sepeda, atau sebaliknya, menikmati perjalanan dan sepenuhnya mempercayai Mike untuk mengarahkan kami ke jalan yang aman.
Ketika Allah meminta Abram untuk meninggalkan keluarga dan tanah kelahirannya, Dia tidak memberikan banyak petunjuk tentang tujuan dari perjalanan itu. Tidak ada koordinat lokasi yang diberikan. Tidak ada deskripsi tentang tanah yang asing tersebut atau apa saja sumber daya alam di sana. Bahkan tidak ada petunjuk sama sekali tentang lamanya waktu yang harus ditempuh untuk sampai di sana. Allah hanya memberikan perintah agar Abram “pergi” ke tanah yang akan ditunjukkan-Nya. Ketaatan Abram kepada perintah itu, meski tanpa petunjuk detail yang biasanya dibutuhkan kebanyakan orang, menunjukkan bahwa ia beriman kepada Allah (Ibr. 11:8).
Ketika menghadapi keadaan hidup ini yang serba tidak pasti dan di luar kendali kita, marilah kita berusaha meniru teladan Abram dalam mengikut dan mempercayai Allah. Tuhan akan mengarahkan kita ke jalan yang benar. —Kirsten Holmberg
Tuhan, tolong aku mempercayai-Mu dalam segala ketidakpastian di hidupku.
Allah dapat dipercaya untuk menuntun jalan kita.

Wednesday, April 19, 2017

Menyebarkan Keharuman

Syukur bagi Allah, . . . dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana. —2 Korintus 2:14
Menyebarkan Keharuman
Penulis Rita Snowden pernah menceritakan pengalamannya yang menyenangkan saat mengunjungi sebuah desa kecil di Dover, Inggris. Saat duduk di luar sebuah kedai di sore hari sambil menikmati secangkir teh, ia mencium ada aroma yang harum. Rita bertanya kepada pelayan dari mana sumber keharuman tersebut. Ia diberi tahu bahwa keharuman itu berasal dari orang-orang yang lewat di sekitarnya. Sebagian besar penduduk desa bekerja di sebuah pabrik parfum yang tidak jauh dari sana. Saat pulang, mereka pun membawa dan menyebarkan wangi parfum yang terserap oleh pakaian mereka.
Sungguh itu menjadi gambaran yang indah tentang kehidupan orang Kristen! Rasul Paulus mengatakan bahwa kita adalah bau yang harum dari Kristus dan yang menyebarkan keharuman-Nya ke manapun (2 Kor. 2:15). Paulus menggunakan gambaran tentang seorang raja yang kembali dari pertempuran sedang berpawai bersama pasukan dan tawanannya. Arak-arakan itu menyebarkan wangi dupa kemenangan ke udara sebagai tanda kebesaran sang raja (ay.14).
Kita menyebarkan keharuman Kristus dengan dua cara. Pertama, melalui perkataan kita: menceritakan kepada orang lain tentang Pribadi yang terindah bagimu. Kedua, melalui kehidupan kita: melakukan perbuatan yang mencerminkan pengorbanan Kristus (Ef. 5:1-2). Meskipun keharuman ilahi yang kita sebarkan tidak akan dihargai oleh beberapa orang, hal itu tetap akan membawa kehidupan bagi banyak orang.
Rita Snowden menghirup keharuman di sebuah kedai dan tergerak untuk mencari sumbernya. Ketika kita mengikut Yesus, kita juga menyerap keharuman-Nya, dan kita menyebarkan keharuman-Nya itu di mana pun kita berada melalui setiap perkataan dan perbuatan kita. —Sheridan Voysey
Tuhan Yesus, jadikanlah kami pembawa dan penyebar keharuman-Mu kepada siapa saja yang ada di rumah, di kantor, dan di lingkungan kami.
Kita adalah bau yang harum dari Kristus bagi sesama.

Tuesday, April 18, 2017

Menikmati Pemandangan

Pujilah Dia, hai matahari dan bulan, pujilah Dia, hai segala bintang terang! —Mazmur 148:3
Menikmati Pemandangan
Saat matahari terbenam, orang cenderung berhenti sejenak untuk menyaksikannya, memotretnya, dan menikmati pemandangannya yang indah. Baru-baru ini saya dan istri menyaksikan matahari terbenam di Teluk Meksiko. Kebanyakan dari orang yang berkerumun di pantai itu adalah para wisatawan yang telah berkumpul untuk menyaksikan fenomena tersebut. Tepat pada saat matahari sudah sepenuhnya terbenam di kaki langit, semua orang dengan spontan bertepuk tangan.
Mengapa mereka dapat memberikan respons seperti itu? Kitab Mazmur memberikan petunjuk kepada kita. Pemazmur menulis tentang Allah yang memerintahkan matahari untuk memuji Penciptanya (Mzm. 148:3). Dan di mana pun matahari menyinari bumi ini, orang akan tergerak untuk turut memuji Sang Pencipta.
Keindahan yang kita nikmati melalui alam ciptaan berbicara kepada jiwa kita dengan cara yang unik. Tidak hanya kita dibuat terpaku dan terpikat olehnya, keindahan itu juga mengarahkan pandangan kita kepada Allah Penciptanya.
Keajaiban karya ciptaan Allah yang begitu beragam dapat membuat kita termenung dan teringat akan apa yang benar-benar penting. Pada akhirnya, keajaiban itu mengingatkan kita akan adanya Pencipta di balik pemandangan matahari terbit dan terbenam yang begitu menakjubkan. Pribadi itu begitu mengasihi dunia yang diciptakan-Nya ini hingga Dia rela datang untuk menebus dan memulihkannya. —Jeff Olson
Aku sungguh menikmati alam ciptaan-Mu yang begitu beragam dan berwarna. Tuhan, betapa luar biasanya diri-Mu dan segala yang Engkau ciptakan!
Bersukacitalah bersama Allah atas segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.

Monday, April 17, 2017

Tinggal Bersama Yesus

Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu. —Yohanes 14:3
Tinggal Bersama Yesus
“Tiada tempat seindah rumah.” Frasa itu mencerminkan kerinduan mendalam di hati kita untuk memiliki tempat di mana kita dapat beristirahat, berdiam, dan diterima sepenuhnya. Setelah Yesus dan murid-murid-Nya menikmati perjamuan mereka yang terakhir, Dia membahas tentang kerinduan untuk memiliki kediaman itu saat berbicara mengenai kematian dan kebangkitan-Nya yang segera tiba. Yesus berjanji bahwa meskipun Dia akan pergi, Dia akan datang kembali untuk menjemput mereka. Dia akan menyediakan tempat bagi mereka. Sebuah tempat untuk berdiam. Sebuah rumah.
Tuhan Yesus menyediakan tempat itu bagi mereka—dan bagi kita—dengan menggenapi persyaratan hukum Allah ketika Dia mati di kayu salib sebagai orang yang tidak berdosa. Yesus meyakinkan murid-murid-Nya bahwa jika Dia telah melalui segalanya demi menyediakan tempat itu, tentu saja Dia juga akan datang kembali untuk menjemput mereka dan Dia tidak akan meninggalkan mereka sendirian. Mereka tidak perlu takut atau mengkhawatirkan hidup mereka, baik di bumi maupun di surga kelak.
Kiranya kita terhibur dan diyakinkan oleh perkataan Yesus, karena kita yakin dan percaya bahwa Dia telah menyediakan tempat bagi kita; bahwa Dia akan berdiam di dalam kita (lihat Yoh. 14:23); dan bahwa Yesus telah pergi mendahului kita demi menyiapkan rumah kita di surga. Bagaimanapun bentuk tempat tinggal kita di bumi ini, kita adalah milik Yesus, ditopang oleh kasih-Nya dan dilingkupi oleh damai sejahtera-Nya. Bersama-Nya, tiada tempat seindah rumah. —Amy Boucher Pye
Tuhan Yesus Kristus, apabila kami merasa tidak diterima oleh orang lain, ingatkan kami bahwa Engkaulah tempat kediaman kami. Kiranya kami meneruskan penerimaan itu kepada orang-orang di sekitar kami.
Yesus menyiapkan sebuah tempat untuk kita diami selamanya.

Sunday, April 16, 2017

Dia Mengerti dan Peduli

Sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya. —Yesaya 53:4
Dia Mengerti dan Peduli
Ketika ditanyai apakah sikap tidak peduli dan tidak mau tahu merupakan masalah manusia di zaman modern, seorang pria dengan bercanda menjawab, “Saya tidak peduli dan saya tidak mau tahu.”
Saya menduga ada banyak orang yang berkecil hati dan berpikiran seperti itu tentang dunia dan manusia di masa kini. Namun, Yesus sangat mengerti dan benar-benar peduli terhadap segala kekacauan dan pergumulan hidup kita. Yesaya pasal 53 berisi nubuat Perjanjian Lama tentang penyaliban Yesus dan di sana kita dapat melihat sekilas apa saja yang dialami-Nya demi kita. “Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian” (ay.7). “Karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah” (ay.8). “Tetapi Tuhan berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak Tuhan akan terlaksana olehnya” (ay.10).
Di atas kayu salib, Yesus rela menanggung dosa dan kesalahan kita. Tidak seorang pun pernah mengalami penderitaan seperti yang dialami Tuhan demi kita. Dia tahu apa yang harus dikorbankan-Nya demi menyelamatkan kita dari dosa, dan karena kasih, Dia rela menjalani itu semua (ay.4-6).
Karena Tuhan Yesus telah bangkit dari kematian, Dia kini hidup dan selalu menyertai kita. Apa pun situasi yang kita hadapi, Yesus mengerti dan peduli. Dan Dia akan selalu menolong kita. —David McCasland
Tuhan, kami bersyukur karena Engkau mengetahui keadaan kami dan mempedulikan kami. Hari ini, kami ingin berjalan bersama-Mu dan memuliakan-Mu melalui setiap perbuatan kami.
Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit! —Lukas 24:6

Saturday, April 15, 2017

Karena Kasih

Ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut. —Yesaya 53:12
Karena Kasih
Putri kami menangis dengan sedihnya saat kami harus mengucapkan selamat jalan pada kedua orangtua saya. Setelah mengunjungi kami di Inggris, mereka akan menempuh perjalanan yang panjang untuk pulang ke Amerika Serikat. “Aku tak mau mereka pergi,” kata putri saya. Saat saya berusaha menghiburnya, suami saya berkata, “Kesedihanmu wajar karena kamu mengasihi mereka.”
Kita mungkin merasa sangat sedih ketika harus berpisah dengan orang-orang yang kita kasihi. Namun, Yesus mengalami perpisahan yang tak terhingga ketika Dia menyerahkan diri-Nya di atas kayu salib karena kasih. Yesus, yang adalah manusia dan juga Allah, menggenapi nubuat Nabi Yesaya yang telah dituliskan 700 tahun sebelumnya, ketika Dia “menanggung dosa banyak orang” (Yes. 53:12). Dalam pasal tersebut, kita melihat banyak bukti yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Sang Hamba yang menderita. Yesus “tertikam oleh karena pemberontakan kita” (ay.5) ketika Dia dipakukan pada kayu salib dan salah seorang prajurit menikam lambung-Nya (Yoh. 19:34), dan bahwa “oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes. 53:5).
Karena kasih, Yesus datang ke dunia dan lahir sebagai seorang bayi. Karena kasih, Dia rela diperlakukan dengan keji oleh para ahli Taurat, orang banyak, dan para prajurit. Karena kasih, Dia menderita dan mati untuk menjadi korban yang sempurna dan menggantikan kita di hadapan Bapa. Karena kasih, kita beroleh hidup. —Amy Boucher Pye
Tuhan Yesus Kristus, Anak Domba Allah yang menghapus dosa kami, kasihanilah kami. Tolonglah kami meneruskan belas kasihan dan kasih kepada sesama kami. Tunjukkanlah bagaimana kami dapat membagikan kasih-Mu kepada mereka hari ini.
Yesus adalah korban sempurna yang mati demi menghidupkan kita.

Friday, April 14, 2017

Ingatlah Salib-Nya

“Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” —Markus 15:39
Ingatlah Salib-Nya
Di gereja tempat saya beribadah, sebuah salib besar berdiri di bagian depan dari ruang kebaktian. Salib itu menggambarkan salib tempat Yesus mati—tempat dosa kita bersinggungan dengan kekudusan-Nya. Di salib itu, Allah mengizinkan Anak-Nya yang sempurna untuk mati demi setiap kesalahan dan dosa yang kita lakukan, katakan, atau pikirkan. Di salib itu, Tuhan Yesus menyelesaikan karya yang diperlukan untuk menyelamatkan kita dari kematian yang selayaknya kita terima (Rm. 6:23).
Melihat sebuah salib mengingatkan saya pada apa yang telah Yesus tanggung bagi kita. Sebelum disalibkan, Dia dicambuk dan diludahi. Para prajurit memukul kepala-Nya dengan tongkat dan berlutut sambil berpura-pura menyembah-Nya. Mereka memaksa Yesus untuk memikul sendiri salib-Nya ke tempat penyaliban, tetapi tubuh-Nya terlalu lemah setelah dicambuk habis-habisan. Di Golgota, mereka menancapkan paku yang menembus daging-Nya agar Yesus dapat tetap tergantung di kayu salib saat mereka menegakkan salib itu. Tangan dan kaki-Nya yang penuh luka itu menahan berat tubuh-Nya selama Dia tergantung di sana. Enam jam kemudian, Yesus menghembuskan napas-Nya yang terakhir (Mrk. 15:37). Seorang kepala pasukan yang menyaksikan kematian Yesus pun berseru, “Sungguh, orang ini adalah Anak Allah!” (ay.39).
Ketika kamu melihat simbol salib, pikirkanlah arti salib bagimu. Anak Allah telah menderita dan mati disalib untuk kemudian bangkit kembali demi menyediakan hidup yang kekal. —Jennifer Benson Schuldt
Ya Tuhan Yesus, tidak habis-habisnya aku bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah menanggung dosaku saat Engkau mati di kayu salib. Aku menerima pengorbanan-Mu dan aku percaya pada kuasa kebangkitan-Mu.
Salib Kristus menyingkapkan keburukan dosa kita sekaligus keagungan kasih Allah.

Thursday, April 13, 2017

Ditinggalkan Demi Kita

Allah telah berfirman: “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” —Ibrani 13:5
Ditinggalkan Demi Kita
Apakah kehadiran seorang teman dapat membuat rasa sakit lebih tertahankan? Para peneliti di Universitas Virginia mengadakan penelitian yang menarik untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka ingin melihat bagaimana otak manusia bereaksi terhadap kemungkinan adanya rasa sakit, dan reaksi apa yang diberikan oleh otak ketika seseorang menghadapi rasa sakitnya seorang diri, ketika memegang tangan orang yang tak dikenalnya, atau ketika memegang tangan seorang sahabat dekatnya.
Para peneliti menguji puluhan pasangan dan menemukan hasil yang konsisten. Ketika seseorang sendirian atau memegang tangan orang yang tak dikenalnya pada saat ia akan menghadapi rasa sakit, bagian otak yang memproses tanda bahaya pun bereaksi. Namun, saat ia memegang tangan seseorang yang dapat dipercaya, otaknya pun rileks. Rasa tenang karena kehadiran seorang teman membuat rasa sakit lebih tertahankan.
Yesus membutuhkan penghiburan saat Dia berdoa di Taman Getsemani. Yesus tahu apa yang akan Dia hadapi: pengkhianatan, penangkapan, dan kematian. Dia meminta sahabat-sahabat-Nya untuk tinggal dan berdoa bersama-Nya, dengan mengatakan bahwa hati-Nya “sangat sedih” (Mat. 26:38). Namun, Petrus, Yakobus, dan Yohanes terus saja tertidur.
Yesus menghadapi kepedihan di taman itu dan tak ada kawan yang menghibur-Nya. Namun, karena Dia menanggung penderitaan itu, kini kita dapat meyakini sepenuhnya bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan atau meninggalkan kita (Ibr. 13:5). Yesus menderita agar kita tidak perlu lagi terpisah dari kasih Allah (Rm. 8:39). Penyertaan-Nya membuat kita sanggup menanggung segalanya. —Amy Peterson
Tuhan Yesus, terima kasih Engkau telah menanggung penderitaan dan kesendirian di Taman Getsemani dan di atas salib demi kami. Terima kasih karena Engkau memberi kami jalan untuk kembali bersekutu dengan Bapa.
Karena kasih Allah, kita tidak pernah ditinggalkan sendirian.

Wednesday, April 12, 2017

Apa Adanya

Maria mengambil setengah kati minyak narwastu murni yang mahal harganya, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. —Yohanes 12:3
Apa Adanya
Beberapa saat sebelum Yesus disalibkan, seorang wanita bernama Maria menuangkan sebotol minyak wangi yang mahal di kaki-Nya. Kemudian ia menyeka kaki Yesus dengan rambutnya—suatu tindakan yang bisa dibilang sangat berani (Yoh. 12:3). Mungkin dengan itu Maria mengorbankan seluruh tabungannya, tetapi ia juga telah mempertaruhkan reputasinya. Dalam budaya Timur Tengah abad pertama, para perempuan terhormat tidak pernah membiarkan rambut mereka terurai di depan umum. Namun, ibadah yang sejati tidak mementingkan apa pendapat orang lain tentang sikap kita (2 Sam. 6:21- 22). Demi menyembah Yesus, Maria rela dianggap sebagai seorang wanita yang tidak sopan, bahkan mungkin tidak bermoral.
Mungkin ada di antara kita yang merasakan tekanan untuk tampil sempurna di gereja agar orang lain berpikir yang baik-baik tentang kita. Ibaratnya, kita berupaya keras untuk memastikan bahwa setiap helai rambut kita tertata dengan rapi. Namun, gereja yang sehat adalah suatu tempat di mana kita dapat datang apa adanya tanpa perlu menyembunyikan kekurangan kita di balik topeng kesempurnaan yang pura-pura. Di dalam gerejalah sepatutnya kita dapat membuka diri terhadap kelemahan-kelemahan kita agar kita beroleh kekuatan, daripada menutup-nutupi segala kegagalan kita hanya supaya kita terlihat kuat di mata orang lain.
Beribadah tidak berarti kita bersikap seolah-olah tidak ada yang salah; beribadah berarti memastikan bahwa segala sesuatunya benar, yakni kita berada dalam hubungan yang benar dengan Allah dan dengan sesama. Jika kita begitu takut untuk bersikap apa adanya di hadapan Allah, mungkin saja kita telah berdosa besar dengan berpura-pura tampil sempurna. —Julie Ackerman Link
Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku. . . . Lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal! —Mazmur 139:23-24
Ibadah kita benar apabila kita telah dibenarkan Allah.

Tuesday, April 11, 2017

Mengapa Mengampuni?

Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Dan mereka membuang undi untuk membagi pakaian-Nya. —Lukas 23:34
Mengapa Mengampuni?
Ketika seorang teman mengkhianati saya, saya tahu bahwa saya harus mengampuninya, tetapi saya tak yakin dapat melakukannya. Kata-katanya begitu dalam menusuk hati sehingga saya pun tersentak dalam kepedihan dan kemarahan. Meski kami telah membicarakan masalah itu dan saya berkata kepadanya bahwa saya telah mengampuninya, tetapi untuk beberapa waktu lamanya, saya masih merasakan sakit hati setiap kali melihatnya. Saya pun menyadari bahwa masih ada kebencian yang melekat pada diri saya. Namun suatu hari, Allah menjawab doa-doa saya dan memberi saya kesanggupan untuk mengampuni teman saya itu sepenuhnya. Saya akhirnya terlepas dari kebencian.
Pengampunan menjadi inti dari iman Kristen, dan Juruselamat kita memberikan pengampunan bahkan menjelang kematian-Nya di kayu salib. Yesus mengasihi orang-orang yang telah memakukan-Nya di kayu salib dan memohon agar Bapa-Nya mengampuni mereka. Tuhan Yesus tidak memendam kepahitan atau kemarahan, melainkan menunjukkan anugerah dan kasih-Nya kepada mereka yang telah menyakiti-Nya.
Inilah waktu yang tepat untuk memikirkan di hadapan Tuhan siapa saja yang mungkin membutuhkan pengampunan kita. Kita ingin meneladan Yesus dengan meneruskan kasih-Nya kepada orang-orang yang telah menyakiti kita. Ketika kita memohon agar Allah memampukan kita mengampuni dengan kuasa Roh-Nya, Dia akan menolong kita— sekalipun mungkin perlu waktu lama hingga kita rela mengampuni. Ketika kita melakukannya, kita pun terlepas dari sikap tidak mau mengampuni yang selama ini membelenggu kita. —Amy Boucher Pye
Tuhan Yesus Kristus, dengan anugerah dan kuasa-Mu yang ada di dalamku, tolonglah aku untuk mengampuni dan kasih-Mu melepaskanku dari kebencian.
Bahkan dari atas kayu salib, Yesus rela mengampuni mereka yang telah menyakiti-Nya.

Monday, April 10, 2017

Sahabat Terbaik Kita

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya. —Yohanes 1:12
Sahabat Terbaik Kita
Ketika saya berusia 12 tahun, kami sekeluarga pindah ke sebuah kota yang terletak di kawasan gurun. Seusai pelajaran olahraga di sekolah saya yang baru, di tengah udara panas menyengat, kami bergegas mencari keran air minum. Karena bertubuh kurus dan paling kecil di kelas, saya sering didorong keluar dari jalur antrean sewaktu menunggu giliran minum. Suatu hari, Jose, teman saya yang bertubuh besar dan kuat untuk anak seusianya, melihat apa yang saya alami. Ia pun bertindak dan merentangkan tangannya yang kuat untuk membukakan jalan bagi saya. “Hei!” serunya, “Minggir semua! Biarkan Banks minum terlebih dahulu!” Sejak saat itu, saya tidak pernah menemui masalah lagi di keran air minum itu.
Yesus memahami rasanya mengalami perlakuan keji dari orang lain. Alkitab menyatakan, “Ia dihina dan dihindari orang” (Yes. 53:3). Namun, Yesus tidak hanya menderita sebagai korban, Dia juga menjadi Pembela kita. Dengan menyerahkan hidup-Nya, Tuhan Yesus telah membuka “jalan yang baru dan yang hidup” bagi kita untuk masuk dalam suatu hubungan dengan Allah (Ibr. 10:20). Dia melakukan bagi kita apa yang tidak akan pernah bisa kita lakukan bagi diri kita sendiri, yakni memberikan karunia keselamatan yang cuma-cuma ketika kita menyesal atas dosa-dosa kita dan percaya kepada-Nya.
Yesus adalah sahabat terbaik yang bisa kita miliki. Dia mengatakan, “Aku tidak akan menolak siapa pun yang datang kepada-Ku” (Yoh. 6:37 BIS). Orang lain bisa saja menjaga jarak terhadap kita atau bahkan menolak kita. Namun, Allah telah membuka lebar-lebar tangan-Nya untuk menyambut kita lewat salib Kristus. Alangkah dahsyatnya Juruselamat kita! —James Banks
Karya kasih-Nya genap, kemenangan-Nya tetap. Kristus jaya atas maut dan terbukalah Firdaus. —Charles Wesley
Karunia cuma-cuma dari Allah untuk kita telah dibayar mahal oleh-Nya.

Sunday, April 9, 2017

Perjalanan Iman

Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya. —Yohanes 20:31
Perjalanan Iman
Sejak pertama kali terbit pada tahun 1880, novel Ben-Hur: A Tale of the Christ (Ben-Hur: Kisah tentang Kristus) karya Lew Wallace tidak pernah berhenti dicetak ulang. Di dalamnya terjalin kisah nyata tentang Yesus dengan kisah fiksi seorang bangsawan muda Yahudi bernama Judah Ben-Hur. Buku yang disebut sebagai buku rohani paling berpengaruh di abad ke-19 itu terus memikat perhatian pembacanya hingga kini.
Amy Lifson menceritakan bagaimana penulisan buku itu telah mengubah hidup sang penulis. “Sebagaimana Ben-Hur membawa pembaca menelusuri kisah Sengsara, ia juga membuka jalan bagi Lew Wallace untuk mempercayai Yesus Kristus.” Wallace berkata, “Saya telah menyaksikan Orang Nazaret itu . . . Saya melihat-Nya melakukan karya-karya yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa.”
Catatan Injil tentang kehidupan Yesus membawa kita berjalan bersama-Nya, melihat mukjizat-Nya, mendengarkan firman-Nya, dan menyaksikan Dia dielu-elukan saat memasuki Yerusalem dalam peristiwa yang kita sebut sebagai Minggu Palem. Di akhir Injilnya, Yohanes menulis, “Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid-murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh. 20:30-31).
Sama seperti penelitian, pembacaan Alkitab, dan penulisan buku telah membawa Lew Wallace percaya kepada Yesus, begitu juga firman Allah membawa kita pada pembaruan hati dan pikiran yang membuat kita beroleh hidup kekal di dalam dan melalui Dia. —David McCasland
Tuhan, kiranya catatan kehidupan-Mu tertanam dalam hati dan pikiran kami supaya iman kami kepada-Mu terus bertumbuh.
Banyak buku yang bisa memberikan informasi, tetapi hanya Alkitab yang bisa mengubahkan hidup.

Saturday, April 8, 2017

Gembalaku Selamanya

Allah . . . telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang. —Kejadian 48:15
Gembalaku Selamanya
Ketika putra saya naik kelas, ia sempat protes, “Aku tidak mau diajar guru lain!” Ia mau selamanya diajar oleh guru kesayangannya. Kami harus membantunya untuk menyadari bahwa pergantian guru merupakan hal yang wajar. Namun, kita mungkin bertanya-tanya: Adakah hubungan yang dapat terjalin seumur hidup?
Yakub, bapa leluhur bangsa Israel, mengenal adanya satu hubungan yang seperti itu. Setelah mengalami banyak perubahan dramatis dan kehilangan orang-orang terkasih di sepanjang perjalanan hidupnya, Yakub menyadari adanya Pribadi yang senantiasa hadir dalam hidupnya. Ia berdoa, “Allah yang telah menjadi gembalaku selama hidupku sampai sekarang . . . kiranya yang memberkati orang-orang muda ini” (Kej. 48:15-16).
Yakub pernah menjadi gembala, maka ia membandingkan hubungannya dengan Allah seperti hubungan gembala dengan domba-dombanya. Sejak lahir, dalam masa pertumbuhan, hingga mencapai usia tua, seekor domba selalu dirawat gembalanya siang-malam. Ia menuntun dombanya pada siang hari dan menjaganya pada malam hari. Daud yang juga seorang gembala memiliki keyakinan yang sama, tetapi ia menyoroti dimensi kekekalan dari hubungan itu dengan mengatakan, “Aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” (Mzm. 23:6).
Pergantian guru adalah hal yang wajar. Namun, alangkah indahnya mengetahui bahwa kita dapat menjalin sebuah hubungan yang kekal selamanya dengan Allah. Sang Gembala Agung telah berjanji untuk menyertai kita setiap hari di sepanjang keberadaan kita di dunia (Mat. 28:20). Dan ketika kehidupan di atas bumi ini berakhir, kita akan tinggal semakin dekat dengan-Nya. —Keila Ochoa
Bapa, aku mengucap syukur karena Engkaulah Gembala hidupku. Aku memuji kesetiaan-Mu.
Allah tidak pernah meninggalkan kita.

Friday, April 7, 2017

Jalan Orang Saleh

“Tunggu, di kota ini ada seorang abdi Allah.” —1 Samuel 9:6
Jalan Orang Saleh
Ketika saya dan istri saya, Carolyn, berada di London, kami melintasi sebuah jalan bernama Godliman Street. Kami diberi tahu bahwa dahulu seorang pria yang sangat saleh tinggal di jalan itu sehingga jalan tempat tinggalnya itu kemudian disebut sebagai “that godly man’s street” (secara harfiah: jalan orang saleh itu). Hal itu mengingatkan saya tentang sebuah kisah di Perjanjian Lama.
Ayah Saul mengutus putranya dan seorang hamba untuk mencari keledai-keledainya yang hilang. Kedua pemuda tersebut mencari selama berhari-hari tetapi tidak dapat menemukan hewan-hewan itu.
Saul sudah hampir menyerah dan berniat untuk pulang saja, tetapi si hamba mengajaknya pergi ke Rama, tempat tinggal Nabi Samuel. Ia berkata, “Tunggu, di kota ini ada seorang abdi Allah, seorang yang terhormat; segala yang dikatakannya pasti terjadi. Marilah kita pergi ke sana sekarang juga, mungkin ia dapat memberitahukan kepada kita tentang perjalanan yang kita tempuh ini” (1Sam. 9:6).
Sepanjang hidupnya hingga lanjut usia, Samuel terus membangun persahabatan dan persekutuan dengan Allah, dan perkataannya sarat dengan kebenaran. Orang-orang mengenalnya sebagai nabi Allah. Maka Saul dan hambanya pun pergi ke kota “tempat abdi Allah itu” (ay.10).
Kiranya hidup kita mencerminkan Yesus dengan begitu rupa sehingga kita akan meninggalkan kesan yang baik bagi lingkungan tempat kita berada, dan kiranya kesalehan kita akan terus dikenang oleh mereka! —David Roper
Tuhan, aku tak tahu bagaimana orang di sekitarku menggambarkan diriku. Namun, aku ingin dekat dengan-Mu dan menjadi terang yang bersinar di mana saja Engkau menempatkanku.
Hidup yang saleh adalah kesaksian yang paling kuat.

Thursday, April 6, 2017

Adakah yang Kekal?

Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan. —Mazmur 102:28
Adakah yang Kekal?
Seorang teman yang belum lama ini sempat melalui masa-masa yang sulit pernah menulis, “Ketika saya memikirkan tentang empat semester terakhir dari masa studi saya, begitu banyak hal yang telah berubah . . . Semua itu sangat menakutkan saya. Memang, tak ada yang bisa bertahan selamanya.”
Benar sekali, banyak hal yang dapat terjadi dalam jangka waktu dua tahun—perubahan karier, pertemanan baru, penyakit, kematian. Baik atau buruk, pengalaman yang dapat mengubah hidup kita mungkin sudah di depan mata dan muncul sekejap! Kita tidak tahu sama sekali. Namun, kita sangat dikuatkan ketika tahu bahwa Bapa Surgawi kita yang penuh kasih tidak pernah berubah.
Pemazmur berkata, “Engkau tetap sama, dan tahun-tahun-Mu tidak berkesudahan” (Mzm. 102:28). Kebenaran itu berpengaruh besar, karena itu berarti Allah kita penuh kasih, adil, dan bijaksana selamanya. Arthur W. Pink, seorang pengajar Alkitab, menyatakan dengan sangat baik: “Apa pun sifat-sifat Allah sebelum alam semesta diciptakan-Nya, sifat-sifat itu tetap persis sama sekarang, dan akan tetap sama untuk selamanya.”
Di Perjanjian Baru, Yakobus menulis, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yak. 1:17). Dalam keadaan kita yang selalu berubah, kita dapat meyakini bahwa Allah kita yang baik selalu konsisten dengan karakter dan sifat-Nya. Dialah sumber dari segala yang baik, dan segala yang diperbuat-Nya itu baik adanya.
Meski seakan-akan tak ada satu hal pun yang bisa bertahan selamanya, Allah kita akan senantiasa dan selamanya baik kepada orang-orang yang menjadi milik-Nya. —Poh Fang Chia
Tuhan, Engkaulah satu-satunya yang tak pernah berubah, dan Engkau sangat baik kepada kami. Tenangkanlah hati kami hari ini dengan kasih dan damai sejahtera yang berasal dari-Mu saja.
Pribadi yang menopang alam semesta takkan pernah melepaskanmu.

Wednesday, April 5, 2017

Keberanian Kossi

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. . . . Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya. —Keluaran 20:3,5
Keberanian Kossi
Selagi menunggu giliran dibaptis di Sungai Mono di Togo, Kossi mengambil sebuah patung kayu yang sudah usang. Keluarganya telah menyembah patung itu dari generasi ke generasi. Sekarang mereka semua menyaksikan Kossi melemparkan patung itu ke perapian yang telah disiapkan. Sejak saat itu, mereka tidak perlu lagi mempersembahkan sesajen bagi dewa-dewa.
Di dunia Barat, kebanyakan orang Kristen menganggap berhala sebagai kiasan untuk apa saja yang mereka utamakan di atas Allah. Namun di Togo, Afrika Barat, yang disebut berhala adalah patung dewa-dewa yang harus dipuaskan dengan persembahan atau sesajen. Membakar patung berhala dan memberi diri dibaptis merupakan tindakan berani seorang petobat baru untuk menyatakan pengabdiannya kepada satu-satunya Allah yang sejati.
Ketika masih berusia delapan tahun, Raja Yosia mulai berkuasa atas satu bangsa yang terikat dalam rupa-rupa perbuatan asusila dan penyembahan berhala. Ayah dan kakek Yosia adalah dua dari raja-raja terburuk di sepanjang sejarah Yehuda yang penuh cela. Namun kemudian, imam besar menemukan kitab Taurat. Ketika raja muda itu mendengar firman Tuhan, ia menerimanya dengan sungguh-sungguh (2Raj. 22:8-13). Kemudian Yosia menghancurkan mezbah penyembahan berhala, membakar benda-benda kekejian yang dipersembahkan untuk dewi Asyera, dan menghapus ritual pelacuran (pasal 23). Sebagai gantinya, ia merayakan Paskah (2Raj. 23:21-23).
Kapan pun kita mencari jawaban di luar Allah—secara sadar atau tidak—kita sedang memuja berhala. Tanyakanlah kepada dirimu sendiri: Apa sajakah berhala, baik nyata maupun kiasan, yang perlu kita buang dan lepaskan? —Tim Gustafson
Tuhan, ampunilah kami untuk hal-hal yang kami andalkan sehingga fokus kami teralihkan dari-Mu. Tunjukkanlah kepada kami apa saja yang perlu kami buang dan untuk kembali mengandalkan Roh Kudus-Mu.
Anak-anakku, jauhkanlah dirimu dari berhala-berhala! —1 Yohanes 5:21 BIS

Tuesday, April 4, 2017

Firman-Nya Kata Terakhir

Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam, —sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai. —Mazmur 63:7-8
Firman-Nya Kata Terakhir
Dawson Trotman, pendiri pelayanan The Navigators dan salah satu pemimpin Kristen yang sangat aktif di pertengahan abad ke-20, sangat menekankan pentingnya Alkitab dalam kehidupan setiap orang Kristen. Trotman menutup setiap hari dengan kebiasaan yang disebutnya “Firman-Nya Kata Terakhir”. Sebelum tidur, ia akan merenungkan sepenggal ayat atau bagian Alkitab yang telah dihafalnya, lalu mendoakan fungsi dan pengaruh firman tersebut dalam hidupnya. Ia ingin firman Allah menjadi kata-kata terakhir yang direnungkannya setiap hari.
Daud sang pemazmur menulis, “Apabila aku ingat kepada-Mu di tempat tidurku, merenungkan Engkau sepanjang kawal malam, —sungguh Engkau telah menjadi pertolonganku, dan dalam naungan sayap-Mu aku bersorak-sorai” (Mzm. 63:7-8). Baik kita sedang dalam situasi yang sulit atau sedang menikmati ketenangan, benak kita dapat ditenteramkan oleh keteduhan dan penghiburan yang diberikan Allah lewat perenungan kita yang terakhir di penghujung hari. Perenungan itu juga dapat menjadi dasar bagi pemikiran kita yang pertama pada pagi berikutnya.
Seorang sahabat saya dan istrinya menutup setiap hari dengan membacakan bagian Alkitab dan renungan bersama keempat anak mereka. Mereka menanggapi segala pertanyaan dan pendapat dari setiap anak, lalu mendiskusikan penerapan firman Tuhan dalam kegiatan mereka sehari-hari di rumah dan di sekolah. Mereka menyebut kegiatan itu sebagai “Firman-Nya Kata Terakhir” versi keluarga mereka.
Sungguh cara yang sangat baik untuk menutup hari! —David McCasland
Bapa, terima kasih untuk firman-Mu di hati dan pikiran kami - perenungan terakhir di malam hari sebelum kami tenteram beristirahat di dalam-Mu.
Roh Allah memperbarui pikiran kita saat kita merenungkan firman Tuhan.

Monday, April 3, 2017

Hati yang Berbelas Kasih

Kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. —Kolose 3:12
Hati yang Berbelas Kasih
Kami bertujuh menghadiri pentas musik di sebuah taman hiburan yang ramai. Karena ingin duduk bersama, kami mencoba duduk dalam satu baris. Namun, saat kami mengatur posisi, seorang wanita bergegas dan duduk di tengah-tengah kami. Istri saya mengatakan kepadanya bahwa kami bertujuh ingin duduk dalam satu baris, tetapi wanita itu lekas berkata, “Kalian kalah cepat,” sembari tetap memaksa duduk dalam barisan tersebut dengan kedua temannya.
Ketika kami bertiga duduk sebaris di belakang barisan yang kami inginkan, istri saya, Sue, memperhatikan bahwa wanita tadi mengajak seorang dewasa yang tampaknya memiliki kebutuhan khusus. Sepertinya wanita itu berusaha menjaga agar mereka bertiga selalu bersama agar ia bisa memperhatikan temannya itu. Saat itu juga kekesalan kami sirna. Sue berkata, “Bayangkan betapa sulit keadaan yang dihadapinya di tengah keramaian seperti ini.” Memang wanita itu telah menanggapi Sue dengan sikap yang kasar. Namun, kami juga seharusnya merespons dengan rasa belas kasihan daripada dengan kemarahan.
Ke mana pun kita pergi, kita akan menjumpai orang-orang yang membutuhkan belas kasihan. Perkataan Rasul Paulus berikut ini dapat menolong kita untuk melihat siapa saja di sekitar kita dari sudut pandang yang berbeda, yakni memandang mereka sebagai orang-orang yang membutuhkan jamahan kasih Allah. “Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran” (Kol. 3:12). Ia juga meminta kita untuk saling bersabar dan mengampuni (ay.13).
Dengan menunjukkan belas kasihan, kita sedang mengarahkan orang-orang kepada satu Pribadi yang telah mencurahkan dari hati-Nya anugerah dan belas kasihan-Nya atas kita. —Dave Branon
Bapa, belas kasihan-Mu tak pernah berakhir. Kiranya kami mencerminkan hati-Mu dengan menunjukkan belas kasihan kepada sesama kami.
Kita berbelas kasihan ketika kita memahami pergumulan orang lain.

Sunday, April 2, 2017

Di Balik Layar

Allah telah mendengar doamu. . . . Aku telah datang sebagai jawaban atas doamu. —Daniel 10:12 BIS
Di Balik Layar
Putri saya mengirimkan pesan singkat pada seorang temannya, dengan harapan pertanyaannya akan dijawab dengan segera. Aplikasi pesan singkat di ponselnya menunjukkan bahwa si penerima telah membaca pesan tersebut, jadi putri saya dengan gelisah menantikan balasannya. Beberapa waktu berlalu, ia mulai merasa frustrasi dan kesal karena tidak kunjung mendapatkan balasan. Kekesalannya mulai berubah menjadi kecemasan; ia sempat bertanya-tanya apakah tidak adanya balasan itu berarti ada masalah di antara mereka. Namun akhirnya, balasan pun diterimanya dan ia merasa lega saat tahu hubungannya dengan temannya itu baik-baik saja. Ternyata temannya hanya sedang memilah-milah hal apa saja yang perlu dituliskannya untuk menjawab pertanyaan putri saya.
Nabi Daniel di Perjanjian Lama juga pernah cemas menunggu balasan. Setelah menerima penglihatan yang menakutkan tentang akan datangnya suatu perang besar, Daniel berpuasa dan merendahkan diri untuk mencari Allah melalui doa (Dan. 10:3,12). Selama tiga minggu, ia tidak mendapat jawaban apa pun (ay.2,13). Akhirnya, seorang malaikat datang dan meyakinkan Daniel bahwa doanya telah didengar “sejak hari pertama.” Ternyata, sepanjang waktu itu, malaikat tersebut terus memperjuangkan doa-doa itu. Meski awalnya Daniel tidak mengetahui hal itu, Allah terus bekerja selama dua puluh satu hari yang terbentang sejak hari pertama ia berdoa hingga hari kedatangan sang malaikat.
Meskipun kita yakin bahwa Allah mendengar doa-doa kita, kita dapat merasa cemas ketika jawaban-Nya tidak kita terima pada saat kita menginginkannya. Kita menjadi bertanya-tanya apakah Dia benar-benar peduli. Namun, pengalaman Daniel mengingatkan kita bahwa Allah terus bekerja demi mereka yang dikasihi-Nya, sekalipun pekerjaan-Nya itu tidak terlihat oleh kita. —Kirsten Holmberg
Tuhan, tolonglah aku untuk mempercayai pemeliharaan-Mu bahkan di saat aku tak bisa melihatnya.
Allah senantiasa bekerja demi umat-Nya.

Saturday, April 1, 2017

Ketika Ya Berarti Tidak

Dalam kesesakanku aku berseru kepada Tuhan dan Ia menjawab aku. —Mazmur 120:1
Ketika Ya Berarti Tidak
Saya bersyukur kepada Allah karena diberi kesempatan istimewa untuk merawat ibu saya dalam perjuangannya menghadapi penyakit leukemia. Ketika obat-obatan justru menambah rasa sakitnya, ibu memutuskan untuk menghentikan pengobatan. “Aku tak mau menderita lagi,” katanya. “Aku ingin menikmati hari-hari terakhirku bersama keluarga. Tuhan tahu aku sudah siap untuk pulang.”
Saya memohon kepada Bapa Surgawi— Sang Tabib Agung—dengan keyakinan bahwa Dia sanggup mengadakan mukjizat. Namun, jika Allah berkenan menjawab ya untuk doa ibu saya, Dia harus menjawab tidak untuk doa saya. Sembari menangis tersedu-sedu, saya berserah, “Jadilah kehendak-Mu, Tuhan.”
Tidak lama setelah itu, Tuhan Yesus pun menyambut ibu saya dalam kekekalan di mana ia tidak akan lagi merasakan kesakitan.
Di dunia yang telah jatuh dalam dosa ini, kita akan mengalami penderitaan sampai saatnya Yesus datang kembali (Rm. 8:22-25). Natur kita yang berdosa, penglihatan kita yang terbatas, dan ketakutan pada penderitaan dapat melemahkan kemampuan kita untuk berdoa. Syukurlah, “[Roh], sesuai dengan kehendak Allah, berdoa untuk orang-orang kudus” (ay.27). Roh Kudus mengingatkan kita bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (ay.28), bahkan ketika jawaban ya dari-Nya untuk orang lain berarti menjadi jawaban tidak yang mengecewakan kita.
Ketika kita menerima peran kita yang kecil di dalam maksud Allah yang lebih besar, kita dapat berkata seperti semboyan yang sering diucapkan Ibu: “Allah itu baik, dan itu cukup. Apa pun keputusan-Nya, aku merasa tenteram.” Dengan meyakini kebaikan Tuhan, kita dapat percaya bahwa Dia akan menjawab setiap doa sesuai dengan kehendak-Nya dan untuk kemuliaan-Nya. —Xochitl Dixon
Jawaban Allah jauh lebih bijaksana daripada doa-doa kita.
 

Total Pageviews

Translate