Ketika pertama kalinya berkenalan dengan seorang teman dari luar negeri, saya tertarik pada logatnya yang sangat bagus dan sebuah cincin yang terdapat pada jari kelingkingnya. Belakangan saya mengetahui bahwa cincin itu bukan sekadar perhiasan. Sebuah lambang yang terukir pada cincin itu menunjukkan tempatnya dalam silsilah keluarganya.
Cincin teman saya itu mirip dengan cincin meterai—bisa jadi seperti yang disebutkan dalam kitab Hagai. Dalam kitab Perjanjian Lama yang singkat itu, Nabi Hagai menyerukan kepada umat Allah untuk membangun kembali bait Allah. Mereka pernah dibuang dan sekarang sudah kembali ke tanah air mereka, tetapi ketika mereka mulai membangun kembali, pertentangan dari para musuh membuat proyek itu terhenti. Pesan dari Hagai meliputi janji Allah kepada Zerubabel, bupati Yehuda, yang menyatakan bahwa ia telah dipilih dan dijadikan seperti cincin meterai.
Pada zaman kuno, cincin meterai digunakan sebagai pengenal identitas seseorang. Untuk menandai sesuatu, mereka tidak membubuhkan nama sebagai tanda tangan, tetapi mencetak cincin mereka yang telah dibubuhkan ke lilin panas atau tanah liat yang lembek. Sebagai anak-anak Allah, kita juga menandai kehadiran kita di dunia ini dengan menyebarkan Injil, membagikan anugerah-Nya kepada sesama, dan bekerja meringankan beban orang lain.
Setiap dari kita memiliki cap tersendiri yang memperlihatkan bahwa kita diciptakan menurut gambar Allah dan menunjukkan paduan unik dari karunia, kegemaran, dan hikmat yang kita miliki. Kita menerima panggilan dan hak istimewa untuk berperan sebagai cincin meterai Allah di tengah dunia ini. —Amy Boucher Pye
Ya Allah Bapaku, hari ini, tolonglah aku mengenali identitasku yang sejati sebagai ahli waris-Mu. (Lihat Lukas 15).
Kita adalah ahli waris dan duta Allah yang dipanggil untuk membagikan kasih-Nya kepada dunia.
No comments:
Post a Comment