Seberapakah yang dianggap cukup itu? Pertanyaan sederhana itu kita ajukan pada hari yang ditetapkan oleh banyak negara maju sebagai hari terbaik untuk berbelanja. Di Amerika Serikat, sehari setelah perayaan Thanksgiving (Pengucapan Syukur), hari itu dikenal sebagai Black Friday, hari di mana banyak toko buka lebih awal dan menawarkan diskon besar-besaran. Tradisi itu bermula di Amerika Serikat dan telah menyebar ke negara-negara lain. Memang ada pembeli yang memiliki dana terbatas dan mereka berusaha membeli barang-barang dengan harga yang terjangkau bagi mereka. Namun sayangnya, ada sebagian pembeli yang didorong oleh keserakahan, dan kekerasan kadang terjadi selagi mereka saling berebut.
Hikmat dari seorang penulis di Perjanjian Lama yang dikenal sebagai “Pengkhotbah” (Pkh. 1:1) memberikan sebuah penangkal untuk gejala konsumerisme yang mungkin kita temui di toko-toko—dan juga yang ada di dalam hati kita. Ia menunjukkan bahwa siapa pun yang mencintai uang tidak akan pernah merasa cukup dan akan dikendalikan oleh harta mereka. Lebih dari itu, mereka akan mati tanpa membawa apa-apa: “Sebagaimana ia keluar dari kandungan ibunya, demikian juga ia akan pergi” (5:14). Rasul Paulus menggemakan ucapan Pengkhotbah ketika mengatakan bahwa akar segala kejahatan adalah cinta uang, dan kita harus berjuang untuk hidup saleh “disertai rasa cukup” (1Tim. 6:6-10).
Baik kita berkecukupan atau tidak, kita semua bisa menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk mengisi kekosongan hati yang sebenarnya hanya bisa dipuaskan oleh Allah. Namun ketika kita memohon kepada Tuhan untuk memberi kita kedamaian dan kepuasan, Dia akan mengisi hati kita dengan kebaikan dan kasih-Nya. —Amy Boucher Pye
Engkau telah menjadikan kami untuk diri-Mu
sendiri, dan hati kami gelisah sampai menemukan kediamannya di dalam-Mu.
—Agustinus, Pengakuan-Pengakuan
Kepuasan sejati tidak bergantung pada apa pun yang ada di dunia ini.
No comments:
Post a Comment