Rumah saya terletak di tepi anak sungai pada ngarai di dekat sebuah gunung besar. Setelah salju mencair di musim semi dan hujan turun dengan lebat, aliran anak sungai itu meluap dan lebih menyerupai aliran sungai. Banyak orang pernah tenggelam di anak sungai itu. Suatu hari saya menyusuri anak sungai itu hingga ke sumbernya—padang salju di puncak gunung. Dari sanalah salju yang mencair memulai perjalanannya menuruni gunung dan bergabung dengan aliran air lainnya membentuk anak sungai yang mengalir di bawah rumah saya.
Saat merenungkan tentang doa, saya sempat terpikir bahwa saya sering berdoa dengan salah arah. Saya biasa berdoa mulai dari bawah, dengan menyatakan segala kebutuhan saya sendiri dan membawanya kepada Allah. Saya memberi tahu Allah, seolah-olah Dia belum tahu apa-apa. Saya memohon terus, seakan-akan berharap bahwa itu akan mengubah pikiran Allah yang mungkin enggan mengabulkannya. Namun yang benar adalah saya harus memulainya dari atas, dari sumber aliran berkat itu.
Saat kita membalik arah doa kita, kita akan menyadari bahwa Allah memang selalu peduli pada pergumulan kita—kekasih hati kita yang menderita kanker, keluarga yang hancur, anak remaja yang memberontak—jauh melampaui kepedulian kita. Bapa kita tahu apa yang kita butuhkan (Mat. 6:8).
Anugerah, seperti air, mengalir ke bagian yang paling rendah. Demikian pula belas kasihan. Kita mulai berdoa dengan memandang kepada Allah dan bertanya kepada-Nya apa yang dapat kita perbuat bagi pekerjaan-Nya di bumi. Dengan titik tolak yang baru itu, persepsi kita berubah. Kita melihat karya Sang Pelukis Agung di alam semesta. Kita melihat sesama sebagai individu kekal yang diciptakan sesuai gambar Allah. Wajarlah jika kita bersyukur dan memuji nama-Nya! —Philip Yancey
Ya Tuhan, aku memuji-Mu atas kasih dan perhatian-Mu yang begitu besar kepadaku. Entah apa yang dapat kulakukan tanpa-Mu.
Doa menyalurkan berkat dari Allah bagi kebutuhan kita.
No comments:
Post a Comment